(Wawancara dimaksud ditampilkan di  Tempo 4242/16-22 Desember 2013 hlm131-135)(Tanggapan ini ditampilkan di Tempo Edisi 4244/30 Des 2013 – 5 Jan 2014)

Membaca wawancara dengan Ketua MKDKI pada Tempo edisi 4242/16-22 Desember 2013 halaman 131-135, sangat menarik. Ada beberapa hal positif seperti penjelasan posisi dan  komposisi MKDKI, perannya sebagai penentu ada tidaknya kesalahan tindakan dokter, sifat kerjanya yang harus pasif, kenyataan bahwa MKDKI masih kurang dikenal maupun bisa terjadinya kesalahan tindakan dokter karena beban kerja yang melebihi kepatutan. Hal-hal itu sangat patut didorong, untuk tercapainya kesepahaman dan penanganan permasalahan pelayanan kedokteran secara optimal.

Namun terdapat pula beberapa poin yang hemat saya perlu mendapatkan informasi pembanding agar lebih jelas. Sebagai dokter, tentu kajian ini sebatas pemahaman saya, untuk saya bagi kepada masyarakat.  Dasarnya adalah kekhawatiran saya akan timbulnya persepsi yang bukan tidak mungkin justru memperkeruh suasana.

Pertama terkait SIP bagi Dr Ayu. Pada sebuah tulisan saya di sebuah koran harian tanggal  4 Desember 2013 lalu, hal ini telah saya jelaskan. Sebagai peserta PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis), Dr Ayu memang belum memiliki SIP Dokter Spesialis. Kewajiban pribadi yang bersangkutan adalah memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) sebagai Dokter Umum yang diterbitkan oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Selanjutnya, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP Kolektif yang berlaku di RS Pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang  bersangkutan dalam pendidikan. Dasar saya adalah Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran no 512/MENKES/PER/X/2007 yang berlaku saat kejadian tahun 2010 tersebut. Kemudian hal itu  diperbarui dengan Pasal 3 dan 12 Permenkes 052/MENKES/PER/X/2011. Atas dasar ini pula, ada Program Kemkes untuk mengirimkan tenaga peserta PPDS tingkat akhir sebagai pelaksana pelayanan dokter spesialis di daerah-daerah yang masih kekurangan SDM. Atas dasar penugasan dari Kemkes, secara otomatis Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan SIP selama melaksanakan penugasan.

Apa saja yang berhak dilakukan seorang Peserta PPDS, sesuai kompetensinya. Tingkatan kompetensi yang dimiliki, dinilai dan ditentukan sesuai aturan Kolegium (Dewan Pakar) masing-masing bidang spesialisasi. Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus Dr Ayu, sebelum kejadian tahun 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi sesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah keputusan PN Manado). Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri. Artinya sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya.

Kalaupun misalnya memang benar bahwa SIP bagi Dr Ayu dkk belum diterbitkan, maka hal ini bukan merupakan klausul pidana. Memang pasal 75, 76 dan 79 UU Praktik Kedokteran no 29/2004 mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan Judicial Review pada tahun 2007. Keputusan MK menyatakan bahwa unsur pidana terkait pasal-pasal tersebut, tidak lagi mengandung kekuatan hukum yang mengikat (Keputusan MK No 4/PUU-V/2007 tanggal 19 Juni 2007). Yang masih berlaku dalam pasal-pasal tersebut adalah pidana denda, dan tidak ada lagi pidana kurungan. Mohon dapat dipahami bahwa menilik pasal-pasal tersebut, dicabutnya SIP bagi dokter karena suatu keputusan MKDKI, walaupun hanya sementara, adalah hukuman berat, secara material maupun imaterial.

Melinik alur wawancara dalam laporan dimaksud, yang barangkali disebut “tindakan pidana” oleh Ketua MKDKI dalam wawancara tersebut, saya menduga adalah terkait pasal 42 UU Praktik Kedokteran no 29/2004. Isinya,  sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut. Tentu pemerintah, aparat maupun masyarakat harus konsekuen dan tegas dalam hal ini.

Dalam semangat yang sama, hemat saya, kita semua juga harus tegas terhadap ketentuan pasal 73, 77 dan 78 UU Praktik Kedokteran no 29/2004. Tidak jarang kita lihat ada yang memasang nama tempat praktik, menggunakan alat dan/atau metode yang mirip dengan dokter bahkan sampai menuliskan resep, surat keterangan sakit atau surat rujukan sehingga menimbulkan kesan seolah-olah adalah dokter atau dokter gigi. Terhadap hal-hal tersebut, jelas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud yang mengandung ancaman pidana. Tidak berlebihan rasanya kalau kita menilai bahwa penegakan aturan terhadap hal tersebut masih kurang nyata. Minimal kita tidak cukup menaruh perhatian, sebagaimana kita menuntut dokter/dokter gigi untuk memenuhi semua aturan.

Hal menarik lain adalah  terkait prosedur informed consent. Prinsip dasar, semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, harus mendapatkan persetujuan. Diperolehnya persetujuan setelah mendapat informasi atau penjelasan. Bentuk persetujuannya bisa diberikan secara isyarat, lisan maupun tulisan. Untuk tindakan berisiko tinggi, harus diperoleh persetujuan secara tertulis. Pengecualian pada kondisi gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecatatan, tidak diperlukan persetujuan. Demikian juga bila tindakan itu merupakan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (Pasal 2, 3, 4 dan 15 Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008).

Dalam pelayanan RS sesuai Standar Akreditasi versi 2012, dipilah antara General Consent dan Informed Consent. Persetujuan umum diberikan untuk hal-hal yang bersifat umum dan rutin atau berulang selama perawatan. Dijelaskan dan ditanda tangani pada saat mulai masuk RS untuk mendapatkan pelayanan. Informed Consent secara umum harus didapatkan secara tertulis sebelum dilakukan 4 hal: tindakan operasi atau prosedur invasif, pemberian anesthesi termasuk sedasi sedang dan dalam, pemberian darah atau produk darah, maupun tindakan atau pengobatan berisiko tinggi. Beberapa RS menambahkan beberapa kondisi yang dianggap juga berisiko tinggi di luar 4 kelompok tersebut. Misalnya dalam hal keikutsertaan sebagai subyek penelitian.

Pasal 10 Permenkes yang sama menjelaskan bahwa untuk memberikan penjelasan sebelum mendapatkan informed consent, prinsip dasar adalah menjadi tanggung jawab dari dokter yang akan melakukan tindakan (ayat 1). Dalam hal dokter dimaksud tidak bisa menjelaskan langsung, maka dapat didelegasikan kepada dokter lain yang berkompeten (ayat 2). Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu menjelaskan sesuai kewenangannya (ayat 3), asalkan tenaga tersebut terlibat langsung dalam pelayanan terhadap pasien dimaksud (ayat 4). Pemberian delegasi untuk menjelaskan, tidak melepaskan tanggung jawab pada dokter yang melakukan tindakan (Manual KKI tentang Persetujuan Tindakan Medik).

Prinsip selanjutnya, persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien yang kompeten. Bila memang pasien tidak kompeten, maka beralih pada keluarga dekat (istri/suami, orang tua, anak dan saudara kandung). Selain keluarga dekat tersebut, boleh disertakan dalam mendapatkan penjelasan,t etapi tidak berhak memberikan persetujuan. Dokter wajib menanyakan soal hubungan keluarga ini, tetapi beban pembuktian terhadap kebenaran hubungan tersebut tidak pada dokter. Beban itu  pada pihak pasien.

Yang ingin saya kedepankan bahwa jelas diperlukannya persetujuan ini bukan semata-mata karena ketakutan atau kekhawatiran dari kalangan kedokteran, tetapi atas alasan keselamatan pasien. Bila dipandang secara kaku, justru pelayanan terbaik yang bukan tidak mungkin justru terkorbankan. Semoga informasi ini bisa melengkapi isi wawancara pada edisi Tempo dimaksud.

Terima kasih,

 

Surakarta, 21 Desember 2013

Tonang Dwi Ardyanto, dr., SpPK, PhD

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dibaca sebanyak: 347 kali

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Butuh Bantuan? Chat Aja!