Persetujuan Tindakan Kedokteran
Dulu pernah membahas ini sebagai bagian dari sebuah tulisan saat marak kasus Dr Ayu. Prinsip dasarnya, untuk setiap tindakan kedokteran, harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau yang sah mewakilinya. Bila tindakan itu berisiko tinggi, harus dalam bentuk persetujuan tertulis (Pasal 45 UU Praktek Kedokteran 29/2004). Ayat (6) pasal tersebut menyatakan bahwa tata cara pemberian persetujuan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Permenkes 290/2008 tentang Tindakan Kedokteran menyatakan bahwa: untuk setiap tindakan kedokteran harus mendapatkan persetujuan pasien, baik lisan maupun tertulis, setelah mendapatkan penjelasan tentang tindakan tersebut (kepentingan, risiko maupun alternatifnya). Dalam hal tindakan berisiko tinggi, harus dalam bentuk persetujuan tertulis. Ini diuraikan dalam pasal 2 dan 3 Permenkes tersebut. Pengecualian dari keharusan tersebut adalah pada kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa (Pasal 4).
Siapa yang berhak memberikan persetujuan? Pada prinsipnya adalah pasien yang KOMPETEN dan atau keluarga terdekat. Penilaian “kompetensi” ditentukan oleh Dokter saat dilakukan permintaan persetujuan (Pasal 13). Maksud kompeten adalah “pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas (Pasal 1). Batasan usia untuk dewasa adalah lebih dari 18 tahun atau sudah menikah.
Dalam versi KKI, menurut Manual KKI ttg Persetujuan Tindakan Kedokteran (tahun 2006), yang disebut kompeten adalah:
• Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis.
• Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.
• Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.
Pada pasien yang tidak mau menerima informasi perlu dimintakan siapa yang dia tunjuk sebagai wakil dalam menerima informasi dan membuat keputusan apabila ia menghendakinya demikian, misalnya wali atau keluarga terdekatnya.
Siapa keluarga terdekat? masih menurut KKI, urutannya adalah: suami atau isterinya, orangtua yang sah atau anaknya yang kompeten, dan saudara kandungnya. Sedangkan hubungan kekeluargaan yang lain seperti paman, bibi, kakek, mertua, ipar, menantu, keponakan dan lain-lain tidak dianggap sebagai keluarga terdekat, meskipun mereka pada keadaan tertentu dapat diikutsertakan ke dalam proses pemberian informasi dan pembuatan keputusan.
Melanjutkan menurut KKI, Dokter tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan hubungan kekeluargaan pembuat persetujuan dengan pasien, demikian pula penentuan mana yang lebih sah mewakili pasien dalam hal terdapat lebih dari satu isteri atau anak. Dokter berhak memperoleh pernyataan yang benar dari pasien atau keluarganya.
Semoga bermanfaat.