Salah satu yang barangkali tidak diperkirakan sebelumnya dalam pelaksanaan JKN 2014 ini adalah melonjaknya pendaftar kelompok Mandiri melebihi target. Awalnya diperkirakan, masyarakat umum yang bukan kelompok miskin maupun pekerja, akan cenderung menuggu dan pasif. Ternyata tidak demikian. Sejak bulan Juni 2014 jumlah pendaftar mandiri semakin melonjak, melampaui target (gambar 1 dan 2)

Laporan BPJS per November 2014, ada “keganjilan”. Mudahnya kita bagi kelompok Mandiri (PBPU) dengan kelompok non-mandiri (PBI Nasional, PBI-Jamkesda dan Pekerja Penerima Upah). Bila diperinci lagi, kelompok Non-PBPU ini terdiri dari 86,4 juta dalam PBI Nasional, sekitar 16,5 juta kelompok Askes, sekitar 7 juta di jalur Jamsostek, sekitar 1,5 juta di jalur TNI/Polri/PNS Hankam dan kelompok miskin yang masih dikelola melalui anggaran Jamkesda. Jadi perkiraan kasar sekitar 96,7 juta dari 123,6 juta (78,2%) itu adalah kelompok miskin sebagaimana laporan TNP2K. Angka itu masih akan bertambah bila dalam kelompok Non-PBPU itu kita masukkan juga kelompok pekerja informal yang sangat mungkin tidak sedikit jumlahnya. Bila kelompok pekerja informal ini dimasukkan, perkiraan saya, angka kasarnya berarti ada 110 jutaan yang masuk “miskin” sehingga mencapai 90%an.

Jumlah peserta Mandiri (kelompok PBPU) hanya 5,6% dari jumlah peserta non PBPU (7.036.000 dibanding 123,6 juta). Tetapi biaya yang dikeluarkan untuk klaim adalah 45,4% dari total pembiayaan kelompok Non-PBPU (7,9 T dibandingkan 17,4 T). Rata-rata besaran premi dan rata-rata biaya perawatan pada kelompok PBPU adalah Rp. 27.062,00 dan Rp. 282.139,00 dibandingkan Rp. 27.478,00 dan Rp. 21.977,00 pada kelompok Non-PBPU. Dengan demikian, rasio klaim kelompok PBPU mencapai 1380% dibandingkan “hanya” 88% pada kelompok Non-PBPU (gambar 3)

Ini adalah keganjilan, bahkan ironi. Berarti dana yang terkumpul justru lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok mandiri. Berarti konsep gotong royong justru terbalik: yang seharusnya lebih banyak memberi, justru menjadi yang lebih banyak menerima.

Beberapa analisis penyebabnya:

1. Kebiasaan sebagian orang terutama kelompok mandiri untuk baru mendaftar setelah sakit, dan sebagian tidak mau membayar lagi setelah sembuh.

2. Kelompok non-mandiri cenderung di kelas rawat bukan kelas III, sehingga paket pembiayaannya lebih tinggi.

3. Ada sebagian yang mengambil “strategi”: ambil saja kelas III, toh di rawat jalan sama saja. Kalau terpaksa rawat inap, baru nanti naik ke kelas II atau I.

4. Asimetri informasi yang lebih berpihak pada kelompok mandiri akibat disparitas digital literasi, menjadikan kelompok mandiri lebih beruntung untuk mengetahui “celah” regulasi yang bisa dimanfaatkan secara sah.

Saya tidak memilii bukti otentik, tetapi layak diduga, inilah paling tidak salah satu alasan perubahan kebijakan BPJS terkait pendaftaran kelompok mandiri. Pada tanggal 17 Oktober 2014, terbit Peraturan BPJS no 4/2014, yang berlaku mulai 1 November 2014. Selengkapnya telah dibahas pada catatan sebelumnya (referensi no 1). Salah poin pentingnya: untuk kelompok mandiri, kartu BPJS baru efektif dan bisa digunakan 7 (tujuh) hari setelah pembayaran pertama. Gampangnya ada masa tenggang 7 hari.

Mudah diduga bahwa kebijakan ini berkaitan dengan kebiasaan “baru mendaftar setelah sakit”. Masa tenggang akan mendorong lebih cepat dan lebih banyak yang mendaftar di kelompok mandiri. Ujung-ujungnya tentu memperbaiki luiditas BPJS Kesehatan.

Ketika aturan masa tenggang itu dikritik banyak orang terutama berkaitan dengan “bagaimana bagi bayi baru lahir”, tanggal 18 November 2014, BPJS menerbitkan Peraturan Direksi BPJS no 211/2014. Selengkapnya dibahas pada catatan sebelumnya (referensi no 2). Poin pentingnya, memberi pengecualian bagi bayi baru lahir kelompok PBI, PMKS dan Mandiri kelas III terhadap aturan masa tenggang 7 hari asal mendapatkan rekomendasi dari Dinsos setempat.

Pengecualian ini masih belum menjawab masalah, karena di lapangan, belum ada sinkronisasi dengan pihak Pemda (khususnya Dinsos) yang masih menunggu petunjuk resmi dari Kemdagri. Akhirnya, BPJS kembali menerbitkan kebijakan tertanggal 17 Desember 2014. Informasi resminya baru keluar sekitar pekan kedua Januari. Pembahasan selengkapnya pada catatan sebelumnya (referensi no 3 dan gambar 4).

Apa hubungannya dengan pembukaan catatan ini soal keganjilan tadi? Di samping absurditas terkait status janin sebagai “seorang warga negara”, ada hal lain yang juga menarik.

Masalah lain itu terkait dengan prinsip kehati-hatian (pasal 4 UU SJSN 40/2004) yang menurut penjelasannya bermakna “Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya”.

Mendaftarkan janin dalam kandungan menjadikan prinsip adanya iuran ganda dari satu orang (yaitu satu orang Ibu hamil). Selama kehamilan, bila terjadi masalah pada Ibu, maka akan ditanggung sebagai Ibu, bukan sebagai janin. Risiko bagi janin, untuk ditanggung terpisah dari Ibuya, baru dimulai sejak bayi dilahirkan.

Bila disebutkan syarat mulai bisa didaftarkan setelah Dokter menyatakan ada denyut jantung janin, berarti sejak usia kandungan 16 minggu (4 bulan) atau bahkan 12 minggu (3 bulan) pun sudah bisa didaftarkan. Bila lahir pada usia 40 minggu (9 bulan) maka bagaimana BPJS mempertanggung jawabkan iuran yang diperolehnya? Bagaimana bila terjadi kematian janin dalam kandungan, harus dipertanggung jawabkan kemana iuran yang telah dibayarkan? Bukan tidak mungkin justru bisa muncul sinyalemen bahwa – maaf – kebijakan ini merupakan upaya menambah peluang menambah volume iuran?

Masih berlanjut berita terbaru bahwa ada rencana menaikkan premi BPJS 10 ribu untuk kelompok mandiri mulai pertengahan tahun 2015 ini. Sedangkan premi PBI yang ditanggung pemerintah, baru akan naik pada 2016 (berita di referensi no 4). Dalam regulasinya, BPJS memang diharuskan memiliki aset bersih untuk dapat menanggung risiko klaim minimal setengah bulan ke depan dan maksimal 6 bulan ke depan. Estimasi pembayaran klaim itu dihitung berdasarkan rata-rata klaim bulanan selama 12 bulan. Apabila aset tersebut tidak mencukupi untuk pembayaran klaim minimal setengah bulan atau maksimal 6 bulan ke depan, maka harus dilakukan penyesuaian dana operasional, penyesuaian besaran iuran atau penyesuaian manfaat.

Begitulah kondisinya. Tentu saja, ini bukan hal yang menyenangkan. Untuk kembali meluruskan, seharusnyalah Pemerintah yang hadir membuat regulasi yang dapat memayungi. Upaya perubahan melalui Peraturan BPJS no 4/2014, kemudian Per Dir 211/2014 maupun Petunjuk BPJS no 11255/VII.2/2014 disusul rencana kenaikan premi, justru bisa memicu perdebatan dan kecurigaan kepada pihak BPJS sendiri. Selayaknyalah Pemerintah yang mengatur hal-hal tersebut semata demi berhasil dan terjaganya niat JKN sebagai suatu asuransi sosial berbasis gotong royong.

Kita tunggu kiprah nyata Pemerintah.

Dibaca sebanyak: 1,369 kali

5.00 avg. rating (100% score) - 1 vote
Butuh Bantuan? Chat Aja!