Sejak awal Januari 2014, sebenarnya ribut-ribut soal JKN-BPJS jauh lebih hiruk pikuk daripada sekarang meributkan KIS. Salah satu yang mengemuka adalah perasaan bahwa BPJS menguasai dan mengatur para pemberi pelayanan maupun pasien sebagai pengguna layanan. Sebenarnya, sistem asuransi ini berusaha menegakkan prinsip kemitra sejajaran antara pasien sebagai pengguna layanan, pemberi layanan dan BPJS sebagai pengelola keuangan. Kalau sebelumnya seolah-olah pasien begitu tidak berdaya dihadapan pemberi layanan, maka kemudian hadir pihak ketiga yang menjembataninya. Harapannya, masing-masing tidak bisa saling merasa menguasai atau lebih kuasa daripada yang lain. Harapannya ada check-and-balance menuju pelayanan sesuai harapan, sekaligus kepuasan bagi masing-masing para pihak.

(selengkapnya di tulisan sebelumnya tentang Saling berbagi tanpa rasa curiga)

Masalahnya, diatas ketiga titik segitiga para pihak itu, seharusnya ada pemerintah yang berperan sebagai regulator, membentuk suatu limas segitiga. Dapat dirasakan bersama bahwa walaupun UU SJSN sudah terbit tahun 2004, kemudian UU BPJS terbit tahun 2011, tetap saja rincian aturan pelaksanaanya baru muncul di hari-hari terakhir menjelang 1 Januari 2014. Akibatnya, JKN mulai dilaksanakan dengan kondisi masih kekurangan pegangan. Sampai ada yang mengibaratkan, sudah berlari tapi masih sambil merapikan tali sepatu. Atau, sudah berlayar tapi masih sambil mennambal dinding yang bocor.

Pada kondisi itulah, BPJS sebagai pemain yang “paling berpengalaman” diantara para pihak dalam hal asuransi kesehatan (karena transformasi dari ASKES) merasa harus menutupi banyak celah aturan agar secara bisnis, asuransi yang dijalankannya menjadi “aman”. Secara pikiran positif, maka wajar bila kemudian BPJS merumuskan serangkaian aturan yang bersifat teknis. Bahkan memang dalam Permenkes 27/2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN pun, cukup banyak pasal yang ujungnya menyatakan “akan diatur lebih lanjut oleh BPJS”. Permenkes 71/2013 itu ditanda tangani pada 12 November 2013, tepat setahu yang lalu. Kemudian diundangkan dan bisa diakses publik seingat saya beberapa hari terakhir menjelang 1 Januari 2014.

Segeralah BPJS menerbitkan Peraturan no 1/2014 yang mengatur banyak hal sebagai rincian teknis dari Permenkes 71/2013 tersebut. Rincian itu lebih terasa dan segera berdampak bagi pemberi layanan. Akibatnya muncul perasaan dikuasi adan diatur oleh BPJS, yang seharusnya berdiri sejajar, bukan sebagai regulator. Akhirnya, terjadi serangkaian tindakan reaktif: muncul masalah, keluar aturan baru, muncul masalah lagi, keluar aturan baru lagi, dan seterusnya. Di tengah-tengah suasana seperti itu, kita ributnya bukan main berdiskusi termasuk di media sosial ini. Di lapangan, kebingungan dan “ketegangan” terjadi antara para pihak, terutama pemberi layanan dan BPJS.

Satu contoh, baru berjalan 2 pekan, tanggal 16 Januari 2014, terbit 2 Surat Edaran Menkes terkait rujukan balik untuk penderita penyakit kronis terkait pemberian obat jangka panjangnya. Juga terkait beberapa hal seperti pemberian kemoterapi, penderita thalassemia, dan kondisi-kondisi khusus. SE ini muncul karena keresehan pada hari-hari pertama pelaksanaan JKN.

Demikian seterusnya, pada Juni 2014, terbit Permenkes 27/2014 tentang Juknis INA-CBGs yang disebutkan “berlaku sejak 1 Januari 2014”. Juga terbit Permenkes 28/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan JKN (yang sudah berjalan sejak Januari 2014). Begitulah. Tanpa semangat bersama untuk kepentingan masyarakat, saya kira sangat mungkin gejolak selama pelaksanaan sejak Januari 2014 ini akan membuat JKN bisa-bisa saja gagal.

Ternyata situasi itu masih terasa hingga sekarang. Menjelang November 2014 kemarin, ada Peraturan BPJS no 4 tahun 2014. Isinya secara ringkas seperti dalam potongan gambar di bawah ini. Dari komunikasi informal, mengapa ada aturan itu:

1. Sesuai dengan pentahapan bahwa seharusnya kelompok PBI sudah masuk dalam daftar baik PBI Nasional maupun yang masih dalam tanggungan Pemda sampai Januari 2016. Demikian pula kelompok penerima upah, sudah dimasukkan dalam pertanggungan oleh pemberi upah masing-masing paling lambat 1 Januari 2015 nanti (dari rencana semula 1 Juli 2015). Dengan demikian, aturan ini “hanya” berefek pada kelompok mandiri (artinya kelompok yang bukan penerima upah).

2. Untuk mendidik masyarakat, agar tidak menunggu sakit dulu baru mendaftar, maka diberlakukan aturan bahwa kartu baru efektif 7 hari setelah pendaftaran.

3. Mensyaratkan seluruh keluarga, berpegang pada sifat “wajib” dalam hal kepesertaan dalam JKN sebagaimana amanat UU SJSN 40/2004.

4. Mensyarakatkan rekening bank unuk menjamin kelancaran dan akuntabilitas. 5. Mensyaratkan nomor telepon untk kemudahan dan menjamin konektivitas. Apalagi toh ini bukan kelompok PBI, sehingga kepemilikan HP dianggap sudah lazim.

Terhadap alasan itu, saya sampaikan bahwa:

1. Diantara kelompok bukan penerima upah itu relatif banyak kelompok pekerja non-formal yang sebagian besar adalah kelompok sadikin (sakit jadi miskin, atau sedikit di atas miskin). Bagi mereka opsi-opsi seperti “harus seluruh keluarga dan memiliki nomor rekening” adalah bukan hal mudah. Perhatian dan mekanisme perlindungan terhadap kelompok ini yang diharapkan dari negara untk menjamin ketahanan mereka menghadapi risiko sakit. Karena aturan tentang kelompok mana yang bisa dimasukkan ke PBI adalah sesuai kemampuan pemerintah (UU SJSN 40/2004 dan PP 101/2012), mari kita bersama-sama mendorong agar cakupan PBI bisa diperluas sampai mencakup kelompok sadikin ini.

2. Bahwa kartu mulai berlaku 7 hari, juga menjadikan JKN tidak jauh berbeda dengan asuransi “non-sosial” yang mensyaratkan waktu efektif. Justru sejak awal, asuransi sosial sebagai prinsip JKN, memiliki keunggulan untuk langsung berlaku saat itu juga (di samping keunggulan untuk menanggung kondisi-kondisi kritis dan terminal). Padahal dalam Permenkes 28/2014 sebagai Juknis JKN dari Kemkes, masih memberikan ruang untuk pegurusan Kartu BPJS sampai 3×24 jam setelah masuk RS. Upaya mendidik agar tidak menunggu sakit baru mendaftar, diupayakan melalui pendekatan langsung ke masyarakat semacam Mobil keliling untuk layanan kependudukan (seperti banyak digunakan oleh Pemda). Ini sangat sesuai dengan kosep “blusukan” yang digelorakan oleh Presiden Jokowi.

3. Tentang makna “wajib” menjadi peserta JKN (pasal 4 UU SJSN 40/2004), menrurut saya, merujuk pada “kewajiban pemerintah” agar seluruh rakyat masuk dalam jaminan. Dalam penjelasannya, pasal 4 itu menyebutkan bahwa “… tetap menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah” sehingga diterjemahkan dalam bentuk pentahapan sehingga pada 1 Januari 2019, semua sudah masuk dalam pertanggungan (Perlindungan Semesta atau Universal Coverage). Dengan demikian, pemerintah yang lebih berperan untuk mencapai target sesuai peta jalan tersebut. Bukan justru dibebankan secara langsung ke masing-masing individu secara merata. Tentu ada memang kelompok yang benar-benar mandiri, tetapi lebih banyak yang sebenarnya belum mandiri.

Masalah lain yang juga krusial adalah soal bayi baru lahir. Sejak awal, pengenaan regulasi pertanggungan BPJS untuk bayi baru lahir, menimbulkan polemik. Soal klausul bayi melalui SC, atau bayi bermasalah, ini sudah menjadi diskusi ramai. Saya fokus soal kepesertaannya. Awalnya prinsip umum, bayi baru lahir harus didaftarkan untuk mendapat pertanggungan. Menggunakan klausul “3×24 jam” (Permenkes 71/2013 dan masih terus berlaku pada Permenkes 28/2014).  Untuk bayi dari Ibu kelompok PBI, BPJS berpegang pada prinsip “penetapan PBI oleh pemerintah”. Dengan demikian, bayi baru lahir kelompok PBI ini TIDAK otomatis menjadi anggota PBI.

Dalam kasus ini, kalau berpegang pada ketentuan “3×24 jam” sekalipun tidak mudah karena termasuk keluarga miskin. Apalagi setelah per 1 November 2014, bayi-bayi ini dianggap kelompok mandiri yang berarti berlaku aturan “mulai efektif berlaku 7 hari setelah pembayaran pertama”. Untuk menghadapi ini, ada beberapa Pemda yang mengambil sikap “mendaftarkan langsung bayi dari Ibu kelompok PBI sebagai kelompok PBI dengan tanggungan premi oleh pemerintah daerah”. Sikap Pemda spt ini pun tetap harus dengan perjuangan untuk disepakati bersama BPJS. Tentu bisa dibayangkan kalau terjadi pada bayi yang memang lahir bukan dari kelompok PBI, berarti langsung tergolong kelompok mandiri dengan konseuensi mulai berlaku efektif 7 hari tersebut. Isu ini lah yang termasuk dalam perluasan manfaat dalam konsep KIS. Berarti, pemerintah harus menegaskan posisi dan diskresinya agar tidak terjadi masalah pada bayi-bayi baru lahir.

Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan “keyakinan” kepada BPJS terkait mendidik masyarakat agar tidak menunggu setelah sakit baru mendaftar. Isu-isu sekarang ada regulasi bahwa untuk setiap kegiatan demografis dan layanan publik – mengurus surat keterangan, pembuatan paspor, mengurus pernikahan, pindah tempat tinggal, dsb – mengharuskan sudah punya kartu BPJS. Hanya saya belum menemukan dokumen regulasinya. Mohon dibagi bila sudah ada yang memilikinya.

Poin pentingnya adalah pemerintah yang lebih diharapkan untuk menjadi regulator. Harapannya, bukan BPJS yang menerbitkan aturan yang bersifat “mengatur” pihak lain. Mekanisme kerja yang melibatkan hubungan para pihak, sebaiknya dituntaskan oleh regulasi pemerintah. Dengan demikian, tidak perlu muncul perasaan “diatur” oleh mitra sejajar.

Dibaca sebanyak: 793 kali

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Butuh Bantuan? Chat Aja!