Akreditasi Sebagai Kunci Integrasi dalam Baku Mutu RS Pendidikan
Sifat padat modal, padat karya dan padat teknologi pada pelayanan rumah sakit (RS) berisiko berujung pada padat masalah. Terjadi silang pendapat tentang bagaimana implementasi regulasi bidang kesehatan misalnya UU Praktik Kedokteran no 29/2004, UU Kesehatan no 36/2009, UU RS no 44/2009, Permenkes 512/2007 dan 2052/2011 tentang Ijin Praktik Kedokteran, Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, Permenkes 36/2012 tentang Wajib Simpan Rahasia Dedokteran dan masih banyak lagi. Belum lagi mulai berlakunya JKN sejak 1 Januari 2014, dengan keraguan maupun kekhawatiran pada praktisi kesehatan. Padahal kedudukan, struktur dan regulasi keuangan sangat berpengaruh terhadap berjalannya berbagai kegiatan di RS. Di sisi lain, Standar Akreditasi RS dari KARS versi 2012 mensyaratkan beberapa hal, dengan fokus pada Keselamatan Pasien (Patient Safety). Kesan yang sangat kuat, keselamatan pasien, apalagi dikaitkan dengan menjaga dan meningkatkan mutu, adalah mahal.
Di sisi yang lain lagi, manat UU Pendidikan Kedokteran no 20/2013 mensyaratkan setiap perguruan tinggi yang membuka Program Studi Pendidikan Dokter untuk memiliki RS Pendidikan. Bahkan untuk yang juga sekaligus membuka Program Studi Dokter Spesialis, harus memiliki 2 RS Pendidikan. Kompleksnya permasalahan di RS, semakin terasa pada RS Pendidikan, yang sejauh ini masih didominasi oleh RS umum yang digunakan untuk proses pendidikan. Hampir semua RS tersebut sejak awal tidak dibangun dengan konsep fisik maupun sistem yang dimaksudkan untuk mewadahi kepentingan pendidikan. Akibatnya, tidak jarang proses pendidikan – termasuk di dalamnya penelitian – tidak mendapat tempat maupun kesempatan yang optimal.
Belum lagi terkait soal kedudukan dan risiko hukum bagi pemberi pelayanan oleh yang masih berstatus peserta didik di RS. Tanpa kejelasan dan kepastian, hanya akan menimbulkan keragu-raguan yang berujung pada tidak berjalannya proses pendidikan seperti harapan. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan status RS Pendidikan yang menjadi milik perguruan tinggi, terutama tentang penganggaran dan sistem manajemen keuangannya.
Tidak sedikit sinyalamen bahwa segenap kompleksitas tantangan itu menjadikan penurunan mutu layanan di RS termasuk proses pendidikan. Padahal sebenarnya terbuka peluang bahwa ketika aspek tersebut – pelayanan, pendidikan dan penelitian – dapat membangun sinergi yang justru saling memperkuat. Tanpa pelayanan yang baik, maka wahana pendidikan yang diharapkan tidak akan tersedia. Tanpa pendidikan yang baik, maka aras penelitian tidak akan mendapatkan bibit dan persemaian yang subur. Demikian pula, tanpa proses pendidikan dan penelitian yang berkembang optimal, maka mutu pelayanan tidak akan banyak berubah dan bergerak menuju yang lebih baik sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Meneropong kompleksitas masalah tersebut, tantangan utama adalah kesan bahwa Akreditasi, JKN, aspek legal dan proses pendidikan seolah saling menarik hpw ke masing-masing kutub. Ujung-ujungya, seolah seperti lingkaran setan yang perlahan-lahan menarik ke pusaran air di tengah lingkaran yang berisiko menenggelamkan semuanya (gambar 1).
Analisis menunjukkan bahwa yang dapat menjadi kunci integrasi ke-empat aspek tersebut adalah Implementasi Akreditasi Berbasis Patient Safety. Dalam instrumen Akreditasi terbaru versi 2012 dari KARS, yang diadopsi dari JCIA, terdapat 14 standar ditambah standar MDGs. Dalam versi JCIA terbaru, ditambahkan 2 standar baru terkait RS sebagai Pusat Pendidikan dan Penelitian.
Strategi yang diajukan adalah “Strategi Makan Bubur Panas” untuk implementasi Standar Akreditasi, sekaligus mendukung upaya baku mutu menghadapi aspek JKN, Legal yuridis, maupun proses pendidikan di RS Pendidikan. Lingkaran terluar adalah standar yang berpusat pada manajemen termasuk sisi pendidikan dan penelitian. Bagian terluar ini relatif paling memungkinkan lebih dulu ditata dan diperbaiki, karena tidak secara langsung bersinggungan dengan pasien. Lingkaran kedua adalah standar yang berpusat pada pasien. Pada bagian ini, sangat dipengaruhi oleh para pemberi layanan langsung baik tenaga medis maupun non-medis. Lingkaran terdalam adalah inti dari akreditasi: hak pasien, pendidikan bagi pasien dan keselamatan pasien. Strategi makan bubur panas diharapkan dalam lebih dulu “menghabiskan” beban di lingkaran terluar, untuk kemudian bergerak masuk ke lingkaran yang semakin dalam sebelum akhirnya “menyelesaikan” tugas di lingkaran terdalam (gambar 2).
Proses peningkatan mutu berkesinambungan (continual improvement) dalam instrumen akreditasi 2012, berfokus hak dan keselamatan pasien. Fokus ini akan sangat positif terhadap minimalnya risiko hukum terkait pelayanan RS. Selanjutnya, akan menumbuhkan kepercayaan (trust). Fokus tersebut juga mendorong pada minimalnya kesalahan (medical error) bertumpu pada EBM dan VBM. Dengan demikian, akan terbentuk proses pelayanan yang ramping tetapi handal (lean but liable) dalam keseluruhan titik pertanggung jawaban prosesnya (responsible unit). Selanjutnya akan bermuara pada manajemen dan pembiayaan yang efisien. Demikian seterusnya bergerak dan berputar dalam kerangka kesinambungan.
Dalam keseluruhan proses tersebut, proses pendidikan jelas sangat berperan. Prinsip EBM dan VBM adalah ranah kajian pendidikan yang sangat kuat. Pembentukan dan pengembangan keduanya harus berpijak pada penelitian yang juga berbobot. Sebaliknya, tumbuhnya budaya keselamatan pasien (safety) dan manajemen yang efektif, sangat kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan dan penelitian (gambar 3). Secara ringkas, tersaji dalam poster berikut ini.
Tugas ini tentu bukan tugas yang ringan. Sangat berat bahkan. Tetapi amanah pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dan tugas dasar bagi pemerintahan manapun. Kehadiran RS Pendidikan, harus mampu mengemban tugas itu, walau memang sungguh berat. Mari.