Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Mantan Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati, Walikota, Sekretaris Daerah, Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pemegang Komitmen (PPK), dan panitia pengadaan lainnya, terjadi pada kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.Rangkaian siklus pengambilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa sebenarnya dimulai saat identifikasi kebutuhan barang/jasa yang perlu dibeli/diadakan, pertimbangan pemilihan sumber pendanaan terkait status organisasi RS (BLU/D atau belum), pemilihan suplier, pemilihan skema pembayaran (Beli-putus, kredir, KSO, atau kontrak pemeliharaan). Agar pilihan keputusan yang dihasilkan efektif, efisien, dan berpotensi ridiko rendah, maka perlu pengkajian secara komprehensif baik dari aspek ekonomis maupun hukum.
Dari segi hukum, pengadaan barang dan jasa terutama yang berkaitan dengan instansi pemerintah tentunya harus mengikuti peraturan yang berlaku. Rambu-rambu untuk mengatur kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah sebenarnya sudah sangat lengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun demikian, tidak semua orang menyadari adanya praktik-praktik tertentu (risiko) yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana (korupsi). Apabila risiko tersebut disadari sejak awal, maka kita dapat merancang strategi untuk mengantisipasinya (supaya risiko tersebut tidak terjadi). Di lain pihak, terdapat beberapa peraturan dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang bersifat multi interpretasi (sumir), yang dapat mengakibatkan perselisihan/konflik antara auditor dengan orang/pihak yang diaudit.
Download Surat pengantar & TOR Fraud Barang Jasa Okt 2015