(Dimuat di Solopos, 9/1/2014 dengan judul Dilema Pelayanan Kesehatan Era JKN)

Solopos tanggal 6 Januari 2014 menurunkan berita “Sosialisasi BPJS: Pemasukan Dokter Bisa 30 juta/bulan”. Ini seolah menggenapi ke sekian lagi lontaran serupa sejak sekitar 2 bulan lalu. Waktu itu bahkan disebut, dokter bisa dapat hampir 1 M setahun. Sebenarnya, ada keengganan besar untuk membahas soal JKN dengan penyelenggara BPJS ini. Pasalnya, belum ada petunjuk teknis (juknis) dan pedoman pelaksanaan (manlak) yang baku. Yang saya dapatkan baru dari regulasi baku dan tukar berita dari beberapa tempat. Penjelasan berikut ini sangat dasar, dan semoga bisa membuka wawasan awal untuk kemudian diperjelas dengan paparan lebih mendalam oleh para pakarnya.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan penyelenggara BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) bidang Kesehatan berprinsip pada managed care. Mari kita bayangkan sebuah segitiga di bidang datar. Pada masing-masing sudutnya ada: pengguna layanan kesehatan, penyedia layanan dan pengelola pembiayaan. Pengguna adalah rakyat Indonesia, seluruhnya, termasuk dokter dan tenaga kesehatan. Penyedia layanan meliputi dokter, fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dan sumber daya terkait (selanjutnya disebut provider). Pengelola pembiayaan dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan.

Diantara ketiga sudut itu, ada mekanisme check-and-balance, ada keseimbangan, ada kesetaraan. Pengguna berhak mendapatkan layanan, tetapi juga wajib membayar kepada penyedia pembiayaan. Provider berkewajiban melayani pengguna, tetapi juga berhak mendapatkan imbal jasa dari pengelola pembiayaan. Selanjutnya, pengelola pembiayaan berkewajiban membayar imbal jasa setelah mengumpulkan dana dari pengguna. Artinya, saling berbagi beban, saling berbagi risiko, saling berbagi hak dan kewajiban.

Lantas dimana posisi pemerintah? Bayangkan segitiga tadi merupakan dasar dari sebuah limas. Tarik garis ke atas dari masing-masing sudut, kemudian satukan, maka di titik itulah posisi pemerintah. Tugasnya adalah memayungi dengan mengatur hubungan berimbang diantara ketiga pihak yang dipayunginya.

Wujud regulasi itu sudah pernah dibahas oleh Solopos beberapa hari kemarin. Yang belum tersampaikan bahwa untuk dokter sudah ada UU Praktek Kedokteran no 29/2004, lebih dulu daripada UU SJSN 40/2004. Pada pasal 49, sudah ditegaskan bahwa dokter wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. Untuk kepentingan tersebut, dilakukan audit medik secara rutin di fasyankes.

Ciri utama dari konsep ini adalah sifat pembayarannya tidak lagi langsung (ouf of pocket). Ada pengelola pembiayaan yang menjadi pihak ketiga dalam hubungan pasien dan provider (termasuk dokter). Dengan demikian, diharapkan tidak ada abuse (penyalah gunaan) maupun hazard (pelanggaran atau pelecehan) dalam pelayanan kesehatan. Provider tidak bisa seenaknya melakukan pemeriksaan atau memberikan terapi tanpa standar yang dipegang bersama. Sebaliknya pasien juga tidak bisa dengan semaunya sendiri meminta pemeriksaan atau terapi yang memang sebenarnya tidak diperlukan. Pengelola pembiayaan harus juga mempertanggung jawabkan dana yang telah dipercayakan. Dengan mekanisme inilah, seperti sering kita dengar, JKN mendorong menuju Kendali Mutu dan Kendali Biaya.

Dari sini saja sudah jelas bahwa “tidak ada pelayanan gratis”. Yang ada adalah pembiayaannya dijamin dengan model asuransi oleh pengelola keuangan (kata asuransi ini eksplisit ada pada UU SJSN 40/2004). Itupun, tidak setiap pelayanan ditanggung. Secara mudah, pelayanan yang bersifat kosmetik dan check-up, tidak masuk dalam pertanggungan. Rincian cakupan pelayanan dan yang tidak tertanggung ini seharusnya disosialisasikan secara luas oleh pemerintah agar tidak timbul salah pengertian.

Pengguna membayar sejumlah premi rutin setiap bulan, tanpa harus langsung membayar langsung saat mendapatkan pelayanan. Pengelola yang akan membayarkan jasa layanan tersebut. Keuntungannya adalah biaya kesehatan akan lebih efektif, karena berbasis asuransi. Fasyankes juga lebih fokus pada pelayanan, tidak lagi berpusing soal pemeriksaan atau terapi karena harus menunggu pembayaran dari pasien. Harapannya demikian, bila semua berjalan lancar.

Dalam JKN ini, fasyankes terbagi atas 3 tingkatan: Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) 1, 2 dan 3. Puskesmas, Klinik swasta dan Dokter Layanan Primer tergolong PPK 1. Rumah sakit terbagi atas PPK 2 (rujukan tingkat pertama) dan PPK 3 (rujukan tingkat lanjut). Kualifikasinya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing RS. Dalam kondisi gawat darurat, semua pasien bisa langsung dilayani di PPK 2 maupun PPK 3. Tetapi dalam kondisi lain, pelayanan dilakukan dengan rujukan berjenjang dari PPK 1 ke PPK2 kemudian ke PPK 3 (Perpres 12/2013 dan Permenkes 71/2013). Pemerintah sudah menetapkan, diagnosis-diagnosis yang dapat ditangani di PPK 1 dan yang harus dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3. Ketidak taatan terhadap kriteria ini, menimbulkan masalah dalam pencairan pertanggungan.

Untuk pembayaran, PPK 1 dibayar dengan prinsip kapitasi. Secara sederhana, sejumlah pengguna dicakup oleh satu PPK dengan nilai kapitasi tertentu. Untuk dokter dipatok pada kapitasi 8000-10.000/orang/bulan. Variasi ini sesuai dengan kondisi setempat dan sebaran pengguna yang dicakupnya. Diharapkan rata-rata satu orang dokter mencakup maksimal 3000 orang. Dari sinilah muncul angka “pendapatan bisa 30 juta/bulan” tersebut.

Mari kita kupas. Dari besaran kapitasi itu harus mencakup: operasional klinik, peralatan pemeriksaan, gaji karyawan, pemeliharaan dan biaya sejenis lainnya. Dalam konsep BPJS nanti, model pelayanan Dokter Praktek Pribadi didorong ke model Layanan primer. Bahkan ada keinginan didorong ke harus siap 24 jam. Karena itu, biaya operasional dan gaji karyawan akan meningkat dibandingkan sekarang. Ini biaya dasar. Kalau ada yang sakit dan memerlukan pelayanan dari 3000 orang itu, berarti biaya obat, pemeriksaan laboratorium sederhana, tindakan medis kecil dan pendukungnya (bahan habis pakai) juga diambilkan dari kapitasi tersebut.

Berikut satu simulasi sederhana. Misalnya dari 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/orang dan angka rata-rata kunjungan ke dokter adalah 25%. Berarti ada 750 orang yang dilayani dalam satu bulan. Katakanlah biaya obat dan kebutuhan pemeriksaan rata-rata Rp 20.000/orang. Kemudian dengan menghitung biaya operasional, gaji karyawan, biaya sewa lahan, dan bahan habis pakai lainnya, maka “sisa” yang diperoleh dokter adalah sekitar Rp. 6.000.000/bulan. Bila kapitasi pada Rp. 8000/orang, dengan ilustrasi yang sama, maka sisanya adalah pada kisaran Rp. 4.000.000/bulan.

Itu baru berpikir soal “pendapatan”. Kita lanjutkan ilustrasinya. Dengan 750 kunjungan, bila dianggap dokter bekerja 25 hari, berarti ada 30 pasien sehari. Secara etis, lama pemeriksaan satu pasien adalah minimal 12 menit. Maka diperlukan waktu minimal 360 menit atau 6 jam perhari. Lama waktu ini dengan asumsi 30 pasien datang secara berurutan tidak berjeda. Padahal kenyataannya tentu tidak demikian. Belum lagi bila diperlukan pemeriksaan dan tindakan yang lebih lama. Karena itu JKN mendorong pengelolaan layanan primer secara praktek bersama. Bahkan diharapkan buka 24 jam 7 hari seminggu, karena tentu orang sakit tidak mengenal hari libur. Namun itu berarti biaya operasional bertambah dan jumlah dokter juga bertambah. Angka “sisa” 6 jutaan tadi harus berkurang lagi, baru kemudian harus dibagi lagi diantara para dokter dan karyawan.

Dalam kenyataannya, angka kunjungan ke Layanan Primer memang masih berkisar 25-30%. Padahal dalam ilustrasi, “sisa” kapitasi itu akan lebih signifikan bila angka kunjungan bisa ditekan pada angka maksimal 12%. Untuk mencapainya, dokter harus bekerja juga dengan prinsip kesehatan masyarakat dan prinsip Kedokteran Keluarga. Artinya dokter tidak sekedar duduk menunggu ada yang berkunjung. Dokter harus mengedepankan prinsip: lebih baik menyehatkan orang banyak daripada mengobati sedikit yang sakit. Lebih baik mencegah dan meningkatkan kesehatan daripada mengobati yang terlanjur sakit. Tentu, itu semua perlu sumber daya – tenaga, waktu dan biaya – yang relatif juga tidak sedikit.

Mengapa kita hanya berbicara angka 8000-10000 rupiah? Bukankan kita membayar premi Rp 19.225 (bagi warga miskin yang ditanggung pemerintah), bahkan Rp. 25.500, 42.000 atau 59.000/bulan/orang? Itu karena premi tersebut juga harus menanggung pelayanan kesehatan di PPK 2 maupun PPK 3 kalau kita terpaksa tidak bisa ditangani di PPK 1. Tapi, kok hanya 750 yang sakit? Uang dari 2250 orang lainnya kemana? Dikelola bersama untuk membiayai yang terpaksa harus sakit. Dari sinilah, maka ada prinsip berbagi, prinsip gotong royong untuk berbagi beban, berbagi risiko.

Untuk PPK 2 dan PPK 3, pembayaran bersifat fee for service dengan basis perhitungan tarif yang sudah ditetapkan. Artinya, untuk setiap kasus, sudah ditetapkan plafon biayanya. Plafon tarif ini dikenal sebagai INA-CBGs yang disusun dengan menghitung rata-rata biaya pelayanan dari sekitar 100 RS (versi 2013), dari berbagai kelas RS, negeri dan swasta. Dari sana disusun dalam 5 regional dan 4 kelas RS (selengkapnya pada Permenkes 69/2013). Pembedaan regionalisasi dan kelas ini untuk menyesuaikan kondisi lokal.

Uang biaya itu baru bisa cair apabila pelayanan telah selesai, dan klaim yang diajukan memenuhi syarat. Karena inilah, RS sangat berhati-hati dalam memverifikasi pasien agar syarat klaimnya nanti terpenuhi. Pengalaman yang sudah-sudah, lama waktu pencairan klaim ini bisa dalam hitungan bulan. Jadilah memang RS harus memiliki dana talangan sebelumnya. Regulasi di era BPJS ini dinyatakan selambat-lambatnya 14 hari setelah klaim disetujui. Semoga memang demikian adanya.

Pada titik inilah RS dan dokter yang bekerja di dalamnya, harus berpikir dengan cermat. Prinsipnya tetap kendali mutu dan kendali biaya. Mutu tetap dipertahankan sesuai standar, sementara biaya harus tetap dapat tidak melebihi plafon. Komponen obat, reagen pemeriksaan laboratorium, biaya pemeriksaan radiologis dan bahan habis pakai lainnya “relatif sulit” untuk dimodifikasi. Yang lebih mudah tentu adalah komponen jasa pelayanan. Dalam regulasinya, jasa ini dibatasi antara 22-44% dari nilai pertanggungannya. Dalam banyak hal, RS terpaksa melakukan subsidi silang.

Bisa saja soal “jasa” ini menjadi perdebatan. Tetapi ada yang lebih esensial bahwa plafon itu pun seharusnya tetap dapat mengadopsi standar pelayanan kedokteran sebagaimana amanat Permenkes 1438/2010. Hal ini yang menjadi sorotan kalangan kedokteran. Tentu saja, pemerintah harus tanggap, untuk melakukan penyesuaian. Muaranya tetap: pasien terlayani sesuai standar mutu, biaya juga terkendali. Kita tentu juga tidak berharap, terjadi lagi polemik soal malpraktik dokter, bila ada sesuatu hal yang “memaksa” pelayanan kesehatan menjadi tidak memenui standar.

Di atas itu semua, haruslah juga dipahami bahwa nafas dari JKN adalah semangat kebersamaan mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik sesuai prinsip: Equity (kesamaan hak), Access (kesamaan kesempatan) dan Quality (Kualitas layanan). Tentu akan ada tarik ulur agar ketiga prinsip tersebut bisa tercapai dengan optimal, dengan seminimal mungkin mengorbankan prinsip yang lain. Tanggung jawab pemerintah juga melingkupi ketiganya. Juga harus tetap disadari bahwa Dokter itu juga rakyat, juga warga, yang berhak mendapatkan penghargaan selayaknya dari pemerintah. Dokter juga hanya sebagian dari pemberi layanan kesehatan. Ada banyak komponen lain yang juga terlibat.

Saat ini, masih relatif banyak hal-hal yang belum sepenuhnya jelas dalam sistem pelayanan era JKN. Regulasi yang ada, masih bersifat umum. Munculnya berita tentang aturan yang lebih rinci, kadang justru menambah kebingungan. Kondisi ini tidak jarang memicu ketegangan bahkan perdebatan sehingga justru menambah masalah dalam pelayanan kesehatan. Tentu hal ini melelahkan dan tidak kita harapkan. Pemerintah harus turun tangan sebagai payung, agar semua pihak terlindungi dalam kesetaraan dan keberimbangan.

Dalam kerangka inilah, pemberitaan seperti disebut di awal tulisan ini, maaf, sama sekali tidak mencerminkan kesepahaman tentang prinsip tersebut. Rasa saling curiga, tentu tidak ada gunanya untuk semua pihak. Mari saling belajar dan berempati agar tidak tergesa-gesa menyusun simpulan.

Mari belajar saling memahami.

Dibaca sebanyak: 388 kali

3.00 avg. rating (80% score) - 1 vote
Butuh Bantuan? Chat Aja!