Selamat kepada teman-teman Perawat atas telah selesainya penyusunan RUU Keperawatan. Tinggal menunggu proses di Sidang Paripurna bulan Oktober.

Selalu memang, kewajiban mengiringi hak, dan tanggung jawab mengiringi wewenang. Itu adalah hakikat alamiah, ketika kita menekuni suatu profesi.

Begitupun, nuwun sewu, saya agak khawatir dengan pernyataan salah satu anggota Tim Perumus ini:

“Perawat itu kan sangat dekat ya dengan masyarakat, ujung tombaknya, jadi dengan adanya payung hukum ini mereka bisa lebih percaya diri dalam memberikan pelayanan kesehatan. Tidak harus sedikit-sedikit ke dokter atau rumah sakit,” papar Imam.http://health.detik.com/read/2014/09/14/154241/2689855/763/ruu-keperawatan-sudah-rampung-kini-perawat-bisa-buka-praktik-sendiri?991104topnews

(Tentang Imam Suroso: http://www.dpr.go.id/id/anggota/2009/281/drs.-h.-imam-suroso,-mm Yang juga kembali maju sebagai Caleg 2014 http://www.beritasatu.com/pages/pemilu2014/caleg-dpr.php?act=profil&idcaleg=1858  Kembali terpilih aleg 2014 dari PDIP http://nasional.kompas.com/read/2014/05/15/1039050/Inilah.Daftar.109.Anggota.DPR.PDI-P.Periode.2014-2019.)

Tentu adalah sangat baik bila pelaksanaan praktik itu diluruskan secara regulasi melalui STR dan SIPP. Rantai regulasi ini justru untuk mengangkat profesi dan menegakkan standar kompetensi.

Di sisi lain, adalah kewajiban pula setiap Organisasi Profesi untuk menegakkan standar itu terhadap diri sendiri dan anggotanya sendiri. Berkaca pada pengalaman IDI, tugas seperti ini bukanlah tugas yang ringan. Seringkali, justru yang tidak mudah adalah mengatur anggotanya sendiri, teman-teman kita sendiri. Itu pengalaman IDI, semoga tidak demikian nanti dengan Organisasi Profesi Perawat.

Hal sederhana misalnya, mendidik masyarakat untuk dapat memahami, apa sebenarnya yang dimaksud “Praktik Keperawatan” yang dirujuk oleh RUU tersebut.

Dengan menunggu koreksi dari teman-teman perawat, saya mencoba sedikit merangkum. Yang dimaksud Praktik Keperawatan dan lingkupnya menurut Permenkes 148/2010 tentang Izindan Penyelenggaraan Praktik Perawat pada pasal 8 ayat (3) – (7):

(3) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:

a.pelaksanaan asuhan keperawatan;

b.pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat; dan

c.pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer.

(4) Asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan.

(5) Implementasi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi penerapan perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan.

(6)Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.

(7) Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.

Dalam penjelasan Permenkes dimaksud – juga sebenarnya adalah pengertian umum – yang disebut Obat bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Sedangkan Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.

Pasal 9 Permenkes tersebut menyebutkan bahwa “Perawat dalam melakukan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki”. Adanya pengecualian atau perluasan wewenang dari isi pasal 8, hanya terjadi pada kondisi kegawat daruratan dan tidak ada dokter di tempat kejadian. Klausul kedua adalah di suatu daerah yang tidak ada dokter, maka untuk melaksanakan program pemerintah, perawat dapat diberikan kewenangan khusus. Pemberian tugas khusus di daerah seperti itu dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau kota.

Selanjutnya, yang dimaksud “Asuhan Keperawatan” menurut Standar Kompetensi Perawat (PPNI, 2011) – mohon dikoreksi kalau sudah ada yang lebih baru – adalah:

Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien di sarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar praktik keperawatan.

Asuhan keperawatan langsung merupakan tindakan yang ditetapkan dan dilakukan oleh perawat secara mandiri atas dasar justifikasi ilmiah keperawatan dalam memenuhi kebutuhan dasar klien maupun tindakan kolaborasi yang merupakan tindakan dari hasil konsultasi dengan profesi kesehatan lain dan atau didasarkan pada keputusan pengobatan oleh tim medik. Asuhan keperawatan tidak langsung merupakan kegiatan yang menunjang dan memfasilitasi keterlaksanaan asuhan keperawatan.

Menurut Draft RUU Keperawatan yang saya peroleh dari situs resmi DPR (https://www.dpr.go.id/uu/delbills/RUU_RUU_Tentang_Keperawatan.pdf), isinya bersesuaian dengan Permenkes dan Standar Kompetensi Perawat tersebut (terutama pasal 30-36 dan 67).

Di bagian lain, lingkup RUU itu tentu saja lebih luas, karena juga mengatur tentang Organissi Profesi, Kolegium dan Konsil Keperawatan. Tentu dengan RUU itu, bila nanti sudah ditetapkan, akan menetapkan Hak dan kewajiban maupun Kewenangan dan tanggung jawab perawat secara profesional.

Sebagaimana dalam UU Praktek Kedokteran 29/2004, RUU Keperawatan ini juga mengatur perihal Larangan dan Ketentuan Pidana. Salah satu contoh adalah “Menjalankan praktik keperawatan tanpa STR atau SIPP”. Beberapa bagian sangat mirip dengan isi UU Praktek Kedokteran 29/2004. Justru karena itu saya mengingatkan beberapa terkait RUU Keperawatan ini dalam hal:

1. Belum ada mekanisme perlindungan profesi dalam bentuk semacam Majelis Kode Etik Keperawatan (MKEK) maupun Majelis Disiplin Keperawatan (MDK). Dalam RUU tersebut, keduanya disematkan tugasnya kepada Konsil Keperawatan. Kalau benar demikian, yang perlu diperjuangkan adalah bunyi secara eksplisit bahwa untuk suatu dugaan malpraktik keperawatan, harus lebih dahulu melalui penilaian oleh semacam MKE dan MDK tersebut. Juga diperjuangkan agar keputusan MKE dan MDK ini bersifat mutlak, sehingga kalau tidak ada yang dianggap pelanggaran, maka tidak bisa diajukan secara pidana ke lembaga lain. Ini yang sedang diperjuangkan teman-teman Dokter (Judisial Review untuk Pasal 66 UU Praktek Kedokteran 29/2004). Kalau tidak, risiko seperti yang dialami para dokter, juga akan dialami para perawat.

2. Masih ada unsur-unsur ancaman pidana pada bagian pelanggaran administratif seperti praktik tanpa STR dan SIPP. Pada pasal 75 dan 76 UU Praktik Kedokteran, unsur ancaman pidana ini sudah dianggap tidak berkekuatan hukum melalui keputusan MK (NO. 4/PUU-V/2007 dapat diunduh di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Perkara%204.puu-2007,%209%20Maret%202007.pdf). Meski demikian, kasus terakhir, masih ada dokter yang mendapat vonis dengan dasar Pasal-pasal tersebut. Teman-teman perawat perlu berjuang, agar kondisi yang sama tidak terjadi pada RUU keperawatan.

Semoga RUU ini makin memantapkan teman-teman Perawat untuk secara profesional menjalankan profesi sesuai standar kompetensinya. Tentu saja memang, ada wilayah masing-masing antara Dokter dan Perawat. Dalam beberapa hal, batas itu tegas, walau di beberapa bagian juga ada kesamaan.Prinsip saya hanya dua: penuhi standar profesi dan patuhi ranah kompetensi.

Barangkali sebagaimana pesan iklan: walaupun tidak bisa bersatu karena memang beda ranah, tetapi tentu saja, sangat bisa untuk terus berdampingan. Toh muaranya sama: kepentingan pasien bersendikan pilar keluhuran profesi.

Mari bergandeng tangan!

Dibaca sebanyak: 483 kali

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Butuh Bantuan? Chat Aja!