Moral hazard dalam JKN-BPJS
Salah satu handicap dan trap utama dari program asuransi sosial semacam BPJS adalah moral hazard. Ini bisa dilakukan atau dialami oleh semua para pihak yang terkait. Dari sisi pasien sebagai pengguna layanan, adanya asuransi sering disalah artikan sebagai “kebebasan” karena toh sudah ditanggung. Akibatnya menyepelekan sisi promotif dan preventif kesehatan. Dari sisi pemberi layanan, bisa timbul juga perasaan “otoritati” mau perika apa saja, mau memberi obat apa saja, wong semua ditanggung kok. Dari sisi BPJS sebagai pengelola, juga bisa terjadi moral hazard dalam bentuk “sekedar menekankan aspek bisnis sehingga pelayanan kesehatan hanya dinilai sebagai transaksi matematis”.
Bahkan, pemerintah sebagai regulator bagi ketiga pihak pun, tidak luput dari risiko moral hazard bila regulasi yang dibuat – maupun lupa dibuat – membuat konstelasi diantara ketiga pihak menjadi tidak fair. Satu contoh tentu saja soal penetapan subsidi premi bagi kelompok PBI misalnya. Atau masih relatif banyaknya celah aturan yang membuat BPJS terpaksa menyusun aturan sendiri sehingga sampai pada tingkat “mengatur” pihak lain.
Untuk mengendalikan itu, konsep yang dianut bersama adalah Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Sebenarnya ini sudah muncul juga dalam UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Dalam konsep ini, targetnya adalah memberikan pelayanan sesuai standar, dengan biaya yang efisien. Untuk itulah, sebenarnya Kemkes sudah mengatur standarnya melalui Permenkes 1438/2010 ttg Standar Pelayanan Kedokteran. Hanya implementasi dari Permenkes ini belum sepenuhnya berjalan.
Akhirnya, apa hendak dikata, untuk mengendalikan risiko moral hazard tersebut, digunakanlah instrumen paling kuno (menurut saya) yaitu uang. Penetapan INA-CBGs memaksa perubahan paradigma. Kalau semua biaya kesehatan ditetapkan dengan perhitungan “apapun yang penting sesuai indikasi”, sekarang berubah menjadi “apapun yang penting tidak melebihi plafon INA-CBGs”. Kondisi ini tentu saja tidak sehat sebenarnya. Namun barangkali tanpa instrumen kuno itu, tidak mudah juga memaksa perubahan paradigma menuju yang lebih tepat.
Jadilah kemudian, pelayanan kesehatan berisiko menjadi sub-standar. Pada awal-awal Januari 2014, yang terjadi adalah kebingungan dan kepanikan karena instrumen INA-CBGs itu. Setiap hari ibaratnya, muncul masalah baru, dan secara reaktif pula muncul regulasi baru yang kemudian berubah lagi karena masalah baru. Demikian berulang. Sekarang, kepanikan dan kebingungan kembali terjadi tapi bergeser ke kekhawatiran risiko melakukan fraud (up-coding, un-bundling, dsb).
Terhadap itulah, saya pernah menulis di Suara Pembaruan, bahwa pengendalian yang lebih tepat adalah menggunakan instrumen Standar Pelayanan. Seharusnyalah standar itu yang menjadi ukuran, bukan biayanya.