Kondom, Seks Bebas dan HIV/AIDS
Pada malam tahun baru 2014 lalu, ada berita tentang lonjakan penjualan kondom sampai 100%. Juga ditemukan kondom bekas di taman-taman kota. Menjelang tanggal 14 Februari ini pula, muncul kekhawatiran akan kembali terjadi lonjakan. Di sisi lain juga sedang berlangsung penyusunan Raperda oleh DPRD Surakarta untuk penanggulangan HIV/AIDS. Ada 3 hal yang merangkai semua itu: kondom, seks bebas dan HIV. Bagaimana sebenarnya peran kondom dalam penanggulangan HIV/AIDS dikaitkan dengan perilaku seks bebas terutama pada generasi muda?
Kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia dilaporkan pada 1 April 1987. Laporan Kemkes per Juni 2013, tercatat penambahan 5.369 kasus HIV dan 460 kasus AIDS. Secara kumulatif sampai 30 Juni 2013 tercatat 108.600 kasus HIV 43.667 kasus AIDS dengan 8.340 kematian.
Pada Oktober 2012, UNICEF melaporkan bahwa setiap 25 menit ada 1 orang baru di Indonesia terinfeksi HIV. Satu diantaranya berusia di bawah 25 tahun. Bila tanpa percepatan penanggulangan, tahun 2014 ini jumlah yang terinfeksi HIV diproyeksikan mencapai setengah juta orang. Pemicu epidemi tersebut terutama penularan seksual dan penyalahgunaan narkoba melalui suntikan.
Salah satu diskusi hangat soal kondom dan HIV/AIDS adalah apakah benar-benar efektif? Penelitian laboratorium menunjukkan ukuran pori yang kurang sebanding dengan ukuran virus. Tetapi mekanisme penularan memang tidak sepenuhnya linier dengan perbandingan ukuran itu.
Dari penelitian epidemiologi, efektivitas kondom untuk mencegah penularan HIV mencapai 70% dengan syarat digunakan secara tepat dan konsisten. Masalahnya penggunaan secara tepat dan konsisten itu hanya pada sebagian kecil orang.
Peran kondom mulai mencuat, ketika mengemuka kampanye “ABC”. Rinciannya adalah: Abstinence, Be faithful dan use of Condom. Kampanye ini awalnya untuk merespon berkembangnya epidemi HIV/AIDS di Afrika. Hasilnya berupa menurunnya kasus AIDS di negara-negara seperti Uganda, Kenya dan Zimbabwe. Dari tahun 1900 sampai 2001, persentase ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) di Uganda turun dari 15% menjadi 5%.
Di akhir era 1980an, HIV menyebar dengan cepat di sana. Tidak seperti presiden lain di daerah Afrika, Yoweri Museveni menggunakan kewenangannya untuk memimpin penanggulangan HIV/AIDS. Awalnya dengan kampanye melalui banyak media. Juga mendidik guru untuk mengajarkan cara penanggulangan di sekolah. Namun yang paling penting adalah menggerakan pemimpin non formal, gejera dan masyarakat umum.
Masing-masing kelompok didekati dengan cara berbeda sesuai kebutuhan dan kemampuan responnya. Anak muda didorong untuk menunda melakukan hubungan seksual (Abstinence), atau kembali menahan diri bila sudah terlanjur pernah melakukannya. Sedangkan kepada pasangan yang sudah aktif secara seksual, didorong untuk “Zero Grazing” yaitu bertahan hanya dengan satu pasangan tetap. Kondom hanya dianjurkan pada mereka yang tidak sanggup menahan diri.
Satu poin penting adalah usaha untuk memberdayakan wanita agar sanggup berperan aktif, tidak selalu dalam posisi obyek. Langkah ini yang mendukung keberhasilan Zero Grazing. Para ahli menyimpulkan bahwa keberhasilan Uganda adalah mengedepankan Risk Avoidance (menghindari risiko) melalui Abstinence dan Zero Grazing sebelum menerapkan Risk Reduction (mengurangi risiko) seperti penggunaan kondom.
Terinspirasi yang terjadi di Uganda ini, muncullah inisitiatif kampanye Go Girl. Fokusnya adalah menurunkan risiko bagi perempuan remaja dari terinfeksi HIV. Lokasinya terutama di Botswana, Malawi dan Mozambique. Tujuannya agar gadis-gadis usia 10-17 tahun lebih tahu tentang HIV, juga lebih mampu mengambil keputusan. Lebih jauh, pemerintah setempat juga menerapkan serangkaian aturan agar tidak terjadi lagi “memperkerjakan” gadis dibawah umur untuk tujuan komersial. Poin pentingnya sama, mendahulukan risk avoidance daripada risk reduction.
Amerika sangat berperan dalam mengembangkan kampanye ABC. Namun disadari kebanyakan orang terjebak hanya pada unsur “C”, tanpa banyak berpikir untuk unsur “A” dan “B”. Hal ini mendorong pemikiran baru di tahun 2002, yang lebih menekankan sisi “Abstinence only program”.
Ada 2 tipe program ini. Pertama, Abstinence-only-until-marriage (disingkat AUM) yang fokus pada prinsip dasar untuk menahan diri dari hubungan seksual sebelum menikah. Kedua, adalah abstinence-based comprehensive sexuality education (pendidikan seks komprehensif berbasis abstinensia).
Mulanya diterapkan tipe pertama. Fokusnya menahan diri atau menunda hubungan seksual sebelum menikah. Caranya melalui pemberian informasi, merubah paradigma tentang seks dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan (decision-making skills). Tipe ini menekankan bahwa “hubungan monogami dalam konteks pernikahan adalah standar yang diharapkan untuk aktivitas seksual manusia”. Juga ditekankan bahwa “aktivitas seksual di luar pernikahan memiliki efek psikologis dan fisik yang tidak diharapkan”.
Tipe pertama ini tidak memperbolehkan diskusi tentang teknologi untuk tujuan kontrasepsi maupun pencegahan penyakit, seperti kondom misalnya. Akibatnya, dianggap terjadi masalah karena kehilangan pijakan basis ilmiah dan medis. Karena itu kemudian berkembang tipe kedua dengan bentuk edukasi yang lebih komprehensif. Termasuk di dalamnya pengenalan terhadap kondom untuk tujuan kontrasepsi maupun pencegahan penyakit bagi yang memang tidak bisa menahan diri.
Konsep ini menarik tentu saja, dalam kacamata kita memadang Amerika. Namun menarik pula kemudian, karena hasil penelitian oleh pemerintah federal menyimpulkan bahwa program tersebut tidak berefek positif. Mengapa? Salah satu faktor utama adalah memang kultur yang ada tidak mendukung program tersebut, dan tidak bisa serta merta diubah dengan program itu. Tidak disebutkan dengan jelas, bagaimana faktor pemuka atau pemahaman tentang agama, berkaitan dengan program tersebut.
Ada yang menarik dicatat. Saat awal penerapan program tipe pertama, justru kelompok remaja yang didorong untuk menunda, malah semakin tinggi yang melakukannya sebelum menikah. Dalam hal ini dilaporkan terjadi indikasi disonansi kognitif. Akibatnya angka kesakitan penyakit menular seksual termasuk HIV justru tidak banyak berubah. Karena itu sekarang diberlakukan program tipe kedua dengan harapan bisa mengatasi masalah pada tipe pertama. Dalam hal ini, risk avoidance dibarengi dengan risk reduction, sesuai kondisi setempat.
Pelajaran menarik lain adalah di Thailand dan Filipina. Keduanya menjadi contoh perbandingan klasik dalam hal epidemiologi HIV/AIDS. Pada akhir era 1980an, kedua negara memiliki prevalensi kasus kurang lebih sama yaitu berturut-turut 112 dan 135. Pada awal era 1990an, pemerintah Thailand mencanangkan program 100% Condom Use dalam menghadapi booming industri seks komersial. Pada kurun waktu yang sama, penggunaan kondom di Filipina justru sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh penentangan pihak gereja dan pemerintah terhadap penggunaan kondom selain untuk tujuan kontrasepsi.
Pada tahun 2003, sekitar 15 tahun kemudian, jumlah kasus di Thailand meningkat sampai 750.000 sementara di Filipina masih bertahan di angka 1.935 kasus. Padahal sampai tahun itu, jumlah penduduk Filipina justru meningkat 30% lebih tinggi daripada Thailand. Pada titik ini, peran kondom dipertanyakan. Para pemerhati HIV/AIDS sekarang agak was-was karena penggunaan kondom di Filipina justru meningkat. Kalau perkembangan ini tidak dikawal dengan hati-hati, dikhawatirkan justru itu mengganggu prevalensi HIV/AIDS yang relatif rendah.
Angka yang “tinggi” di Thailand itu pun sudah lebih menunjukkan penurunan dibandingkan dugaan awal. Tanpa menegasikan peran kondom, faktor perubahan pola perilaku seksual yang dianggap lebih berperan. Contohnya adalah penurunan kunjungan ke industri seks komersial turun dari 22% menjadi 10%. Juga perilaku seks dengan bukan pasangan tetap dari 28% menjadi 15%. Salah satu poin menarik adalah pemerintah sangat mendorong untuk memberdayakan agar – maaf – PSK dapat memaksa pelanggannya untuk menggunakan kondom.
Apakah lantas berarti kondom memang tidak berperan penting? Laporan penelitian menyatakan bahwa sebagai upaya risk reduction kondom tetap berperan. Yang dilaporkan sebagai kemungkinan penyebab kegagalan adalah cummulative risk dan risk compensation. Faktor pertama, bahwa terjadinya penularan HIV/AIDS tidak sekedar melalui cairan sperma dan vagina dalam konteks hubungan seksual. Jadi tentu saja, harus diterima kalau efektivitasnya “hanya” 70%, tidak bisa mendekati 100%, walaupun sudah digunakan secara tepat dan konsisten.
Faktor kedua, terjadi risk compensation (kompensasi risiko) sehingga seseorang yang sudah menggunakan kondom, menjadi merasa aman untuk melakukan hubungan seksual yang semakin berisiko. Tentu saja, frekuensi dan kualitas risiko tertularnya justru semakin tinggi. Kondisi ini yang diduga mendasari mengapa pada program penyebaran kondom secara masal, justru berisiko angka penularan meningkat.
Pelajaran penting adalah kampanye kondom harus selalu menyertakan pemahaman ilmiah yang terbuka dan terkini. Kesadaran soal efektivitas, dengan syarat-syaratnya, harus selalu disertakan dalam pendidikan ke masyarakat. Lebih dari itu, juga harus peka terhadap realitas sosial di masyarakat berbasis nilai-nilai lokal. Karena jelas, kondom adalah usaha risk reduction yang seharusnya menjadi pilihan berikutnya setelah usaha risk avoidance.
Bagaimana di Indonesia? Laporan UNICEF bulan Oktober 2012, 1% dari anak laki-laki dan 4% anak perempuan telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun. Ketika mencapai usia 17 tahun, sepertiga diantaranya telah melakukan hubungan seksual minimal 1 kali. Di sisi lain, pengetahuan anak muda tentang HIV/AIDS masih rendah. Masih ada 42% dari penduduk berusia di atas 15 tahun yang belum tahu tentang penyakit tersebut. Bahkan pada anak-anak SMA, masih ada 64% yang salah memahaminya.
Laporan Kemkes bulan Juni 2013 menunjukkan bahwa modus penularan HIV/AIDS tertinggi tetap karena hubungan seksual (60,2%). Modus kedua melalui penggunaan jarum suntik untuk penyalahgunaan narkoba (18,0%). Fakta-fakta tersebut menjadikan beralasan mengapa angka prevalensi HIV/AIDS tertinggi juga pada kelompok usia 20-29 tahun (45,4%) diikuti usia 30-39 tahun (30,7%).
Kampanye kondom pada sekitar tanggal 1 Desember, mulai berlangsung sejak tahun 2007. Di sisi lain, peningkatan kasus HIV/AIDS terbesar justru dari tahun 2005 ke 2011. Selama 7 tahun terakhir ini pula, kita seperti beritual untuk “ribut” berdebat soal kondom setiap awal Desember. Tidak jarang bahkan sampai menimbulkan pertentangan tajam. Sampai kapan kita harus terus begini?
Undang-undang Kependudukan dan Pengembangan Keluarga ( UU No. 52 / 2009) dan Undang-undang Kesehatan (UU No. 36 / 2009) menetapkan bahwa hanya pasangan yang menikah secara sah yang dapat mengakses layanan seksual dan kesehatan reproduksi. Walaupun kenyataan di lapangan memang kondom relatif mudah didapatkan di pasaran. Laporan UNICEF Oktober 2012 menilai ini menjadi hambatan akses bagi kelompok risiko yang belum menikah sehingga mereka melakukan hubungan berisiko. Tentu kita bisa memiliki pandangan lain karena jelas kita memiliki ukuran nilai dan normal yang berbeda.
Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan merupakan prinsip pertama menurut pasal 4 ayat (1) butir (a) Permenkes 21/2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Demikian juga tentang “kesetaraan gender” serta “mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga” menjadi prinsip-prinsip utama berikutnya. Tentu saja dengan prinsip ini, akses terhadap kondom untuk tujuan pencegahan penyakit memang harus dalam konsep terkendali. Konsep risk avoidance lebih mengemuka dengan prinsip ini, lebih dahulu dan lebih utama daripada risk reduction.
Pada pasal 5 Permenkes tersebut, strategi yang dikembangkan juga tidak ada yang eksplisit menyebut soal kondom. Dalam cakupan kegiatan di pasal 9, promosi kesehatan dan pencegahan menjadi urutan utama tanpa mengabaikan kegiatan lainnya. Promosi kesehatan bertujuan meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi (pasal 10).
Dalam hal promosi ini ada populasi kunci, yang diantaranya mencakup 2 kelompok utama: pengguna jarum suntik untuk penyalahgunaan obat, dan para pihak yang terkait dalam industri seks komersial atau hubungan seksual sejenis. Kepada kelompok yang rentan melakukan hubungan seksual berisiko inilah dilakukan kampanye penggunaan kondom (pasal 11).
Dari pemahaman itu, dan belajar dari negara-negara lain, kampanye ABC haruslah ditegakkan sesuai dengan konsep awalnya. Dalam konsep ini dan sesuai konteks budaya kita, bahkan keyakinan agama kita, perlu sangat ditekankan untuk mengedepankan unsur “A” dan “B” bukan justru tergesa-gesa melompat pada unsur “C”.
Dalam pada itu, peran ibu dan keluarga sangat penting. Pendidikan seksual paling dini, sangat diharapkan berawal dari ibu dan keluarga. Pemberdayaan wanita sebagai ibu, sebagaimana pelajaran dari Uganda, juga berperan pada suaminya. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan remaja dan risiko pergaulan yang mengarah ke seks bebas. Dari posisi itulah kita berharap, kampanye ABC dalam penanggulangan HIV/AIDS akan berjalan, pada rel yang sebenarnya sejak awal diharapkan. Mari.