(Ditulis 14 Juni 2014 berdekatan dengan Debat Capres 2014)

Berawal dari pertanyaan seorang teman di sini: https://www.facebook.com/hasanudin.abdurakhman/posts/10203845469677956

Kang Hasan: Kartu Indonesia Sehat yang jd bahan kampanye Jokowi itu apa nggak tumpang tindih dengan BPJS Pak Tonang Dwi Ardyanto ?

Jawaban saya:

Sebenarnya, Jamkesda di berbagai daerah, KJS di Jakarta, dan JKN-BPJS, itu konsep dasarnya sama. Pelayanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar kesehatan. Tujuan dari program semacam itu adalah “memberikan perlindungan berupa terlayaninya kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyat”. Konsepnya adalah “Universal Coverage”.

Konsep dasarnya, adalah segitiga sejajar antara Pengguna Layanan, Pemberi Layanan dan Pengelola keuangan. Pihak pertama dan kedua sudah jelas. Nah, BPJS adakah pihak ketiga. Masing-masing berdiri sejajar dengan kesetaraan hak dan kewajiban. Kalau dari segitga mendatar itu ditarik garis ke atas dan disatukan, terbentuklah limas. Di Puncak itulah pemerintah berdiri sebagai regulator dan pengayom (dengan sedikit catatan pada tugas memenuhi premi bagi kelompok miskin). Kang Hasan sebenarnya sudah akrab dengan konsep ini, karena seperti Kokumin Kenko Hokken di Jepang itu. Lebih lengkap di tulisan sebelumnya.

Untuk menuju Universal Coverage (UC) itu, ada 3 komponen: Banyaknya penduduk yang harus ditanggung, Banyaknya layanan yang harus masuk pertanggungna, dan Semakin kecilnya kewajiban Cost-sharing yang masih harus ditanggung pengguna layanan. Masing-masing dari ketiganya bersifat mengurangi yang lain. Memaksa menarik ke satu sisi, berarti harus merelakan berkurangnya indikator yang lain. Lebih lengkap di tulisan sebelumnya.

Bagaimana Jamkesda/KJS dengan JKN-BPJS? Bedanya pada sumber dana dan cakupan coverage yang harus ditanggung. Mudah dipahami bahwa memaksimalkan tiga indikator UC tadi tentu lebih mudah bila diberlakukan pada lingkup area yang lebih sempit, relatif lebih homogen dan sumber daya lebih besar.

Bila diberitakan bahwa Jokowi menyatakan akan menerapkan KJS se Indonesia, tentu ini strategi kampanye saja. Aneh kalau mau menerapkan yang baru, sementara JKN-BPJS sendiri saja masih kedodoran padahal itu amanat Undang-undang. Yang sekarang berjalan di DKI, KJS itu menggunakan program JKN-BPJS juga. Hanya bedanya dengan kebanyakan daerah lain, Pemprov membayari premi seluruh warganya ASAL memilih premi untuk kelas III.

Seperti juga di Jepang, setiap Pemda bisa saja menambahkan manfaat (benefit) dari JKN-BPJS dengan cara berbea-beda, salah satunya model yang ditempuh DKI ini, terhadap manfaat secara program nasional. Ini saja yang seharusnya kita dorong.

Masalah lain adalah soal keuangan daerah. Dalam konsep Jamkesda/KJS, Pemda menganggarkan sekian M. Bila kemudian ternyata ada sisa, bisa masuk SILPA. Sedangkan pada konsep JKN-BPJS, premi yang dibayarkan otomatis tidak mungkin kembali (prinsip gotong royong). Ini yang membuat beberapa Pemda – termasuk Solo – merasa berat dengan perubahan ke JKN-BPJS.

Saya kepikir, bisa tidak ya dibuat semacam Program tambahan bersifat kompetisi? Bila pecairan dana pertanggungan untuk suatu daerah Pemda kurang dari premi yang dibayarkan, maka ada persentase untuk kembali ke Pemda dalam bentuk misalnya peningkatan sarana layanan kesehatan? Mohon yang ahli ekonomi memberikan penjelasan.

Jadi Kang, memang tumpang tindih kalau tidak dijelaskan secara terbuka. Demikian ya Kang.

Dibaca sebanyak: 314 kali

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Butuh Bantuan? Chat Aja!