Ini di-cover BPJS nggak ya?
Pekan-pekan ini, pertanyaan itu yang banyak sekali mampir. Bertanya langsung, atau lewat media sosial, sama seringnya. Ini terbawa oleh era Askes yang memang ada klausul: dicover nggak ya?
Meski BPJS adalah metamorfosa dari Askes, tetapi ada perbedaan yang cukup signfikan terkait cara pertanggungannya. Era Askes, berbasis pada fee-for-services. Gampangnya: pembayaran sesuai layanan yang diberikan. Walaupun sebenarnya tidak seperti itu juga, karena ada beberapa syarat dan restriksi yang diberlakukan. Untuk setiap “service” ada kriteria yang menjadi syarat untuk mendapat pertanggungan. Begitu juga, penggunaan obat, alkes dan pemeriksaan diagnostik, ada restriksi baik jenis maupun jumlah dengan syarat-syarat tertentu, agar valid untuk mendapatkan pertanggungan. Karena itulah muncul pertanyaan lazim: ini dicover Askses nggak ya?
Di era BPJS (lebih tepatnya era JKN dengan BPJS sebagai pengelolanya), berbasis Paket Pembiayaan yang disusun berdasarkan INA-CBGs. Dalam sistem ini, untuk suatu jenis diagnosis (dan level of severity – derajat beratnya penyakit) sudah dipatok dengan paket pembiayaan sekian rupiah. Dapat diperolehnya paket itu oleh pemberi layanan (Puskesmas, klinik, dokter praktek atau RS) harus juga memenuhi beberapa syarat: kesesuaian kompetensi dan kewenangan terhadap jenis layanan yang diajukan klaimnya, penggunaan obat sesuai Fornas (Formularium Nasional) dan validitas kepesertaan pasien yang dilayani.
Paket Pembiayaan dan Fornas ditetapkan oleh Kemkes. Obat yang diberikan harus sesuai dengan isi Fornas (yang sudah ditetapkan sesuai dengan tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing). Paket pembiayaan juga ditentukan berdasarkan regionalisasi wilayah, tipe RS, kelas perawatan dan sifat RS sebagai Rujukan Nasional.
Dengan konsep Paket INA-CBGs ini, tidak lagi tepat bila ada pertanyaan: ini dicover nggak ya? Karena dengan besaran paket pembiayaan sekian rupiah itu, fasyankes diharuskan mampu memberikan pelayanan sesuai dengan Panduan Praktik Klinis. Tidak lagi ada pemilahan per tindakan, per pemeriksaan atau per macam obat sebagai “dicover BPJS atau tidak”. Semua diserahkan kepada fasyankes, yang penting, pertanggungan yang diberikan adalah sesuai paket yang sudah ditetapkan untuk diagnosis (dan level severity) tersebut. Bagaimana caranya karena ada suara bahwa paket pembiayaan itu terlalu rendah? Di sini memang tantangan besar bagi RS, terutama RS swasta.
Memang pada prateknya tetap ada beberapa aturan yang disusun BPJS agar suatu pelayanan dapat diajukan klaim pertanggungannya. Kurangnya pemahaman, tidak jarang menimbulkan ketegangan dan polemik di lapangan. Pemberi layanan kesehatan sendiri masih sering dibuat bingung dan sosialisasi masih terus berjalan walaupun program sudah berjalan di bulan ke empat. Juga kebijakan dan regulasi masih terus disempurnakan sambil berjalan.
Pertanyaan tentang “seberapa yang ditanggung” atau “ini dicover nggak ya” itu lebih tepat diarahkan kepada BPJS. Bukan kepada pemberi pelayanan kesehatan. Silakan disimak Panduan BPJS di situs resminya. Beberapa hari kemarin, kumpulan panduan itu sudah dikompilasikan dalam satu buku. (http://www.bpjs-kesehatan.go.id/)
Saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu, sangat diperlukan untuk berjalannya Program JKN ini. Tidak perlu ada saling mengatur rumah tangga yang lain dan mencampuri antar pihak. Pemerintah (dalam hal ini Kemkes) yang harus menjadi regulator dan pengayom.
Salam sehat.