Terus terang saya prihatin. Sudah hampir satu tahun JKN-BPJS berjalan, masih terus banyak yang bertanya langsung maupun tidak langsung: kalau mau ini, masuk di-cover BPJS nggak ya?

Awal Juni lalu, saya sudah menuliskan catatan tentang hal ini. Prinsip dasarnya: tidak tepat lagi pertanyaan soal di-cover BPJS atau tidak. Dengan perubahan dari fee-for-service ke prospective payment, maka tidak ada lagi klausul “yang ini di-cover, yang itu tidak”. Paket pembiayaan berbasis INA-CBGs (Permenkes 69/2013 yang telah diperbarui dengan Permenkes 59/2014) sudah mencakup satu paket layanan untuk seorang pasien sesuai diagnosisnya.

Obat yang diberikan juga telah dirumuskan dalam Formularium Nasional (KepMenKes 328/2013 yang telah diperbarui dengan KepMenKes 159/2014). BPJS hanya menanggung obat, bila masuk dalam Fornas. RS boleh memberikan obat di luar Fornas, tetapi tidak boleh ada tambahan biaya. Awalnya, masih digunakan standar DPHO 2013. Artinya, standar harga juga masih mengikuti DPHO 2013. Namun mulai 1 September 2014 kemarin, BPJS hanya menanggung sesuai plafon harga di e-Catalog. Sayangnya, belum semua obat dalam Fornas, sudah masuk dalam e-Catalog. Akibatnya, dalam beberapa kasus, RS mengalami kesulitan melakukan klaim atas obat-obat tertentu.

Dengan mekanisme itu, prinsipnya, semua layanan masuk dalam pertanggungan KECUALI yang disebutkan secara eksplisit dalam Perpres 12/2013, Perpres 111/2013 dan dirinci dalam Petunjuk Pelaksanaan JKN (Permenkes 28/2014). Awalnya, penjelasan tentang “Layanan yang tidak dijamin ini masuk dalam Panduan JKN yang diterbitkan BPJS. Selanjutnya, pada bulan Juni 2014, dimasukkan dalam Permenkes 28/2014 tersebut. Dasar dari penentuan “Layanan tidak dijamin” ini, sepanjang saya bisa menganalisis, adalah Bab VI Pasal 33-38 Permenkes 71/2013 tentang Kendali Mutu dan Kendali Biaya.

Isinya secara lengkap layanan yang tidak dijamin tertulis dalam gambar 1 dan gambar 2 di terlampir. Diskusi panjang justru menarik bila mencermati butir-butir layanan tidak dijamin tersebut. Pertama, tidak akan ditanggung bila layanan itu diberikan tidak sesuai prosedur atau tidak dalam keadaan emergensi. Tata cara prosedurnya, mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan JKN (Permenkes 71/2013 dan Permenkes 28/2014). Begitu juga soal Tata cara rujukan (Permenkes 1/2012). Hal ini yang kadang menimbulkan ketegangan karena dugaan “mengapa Puskesmas sulit memberi rujukan” atau “mengapa RS menolak pasien“.

Kedua, kondisi yang sudah masuk skema pertanggungan lain. Secara umum, hubungan BPJS dengan perusahan asuransi lain dimasukkan dalam klausul Coordination of Benefit (CoB). Prinsipnya, penanggung pertama adalah BPJS. Bila terdapat selisih atau kekurangan, baru masuk dalam pertanggungan asuransi lain. Perkecualiannya pada keadaan kecelakaan lalu lintas, dimana penanggung pertama adalah Jasa Raharja, baru kemudian bila ada selisih, menjadi pertanggungan BPJS sampai batas paketnya. Juga dalam hal kecelakaan kerja, karena sudah ada BPJS tersendiri yang mengatur dan menanggung soal kecelakaan kerja.

Begitu juga untuk kondisi bencana yang memang sudah ada skema lain untuk menanggung biayanya (dari dana tanggap darurat bencana). Pernyataan soal bencana, tentu menjadi otoritas badan terkait yang sudah diatur secara tersendiri. Ketiga, layanan yang dilakukan di luar negeri, yang untuk tujuan estetika, orthodonsi maupun infertilitas. Begitu juga alat kontrasepsi, kosmetik dan makanan bayi. Perbekalan kesehatan rumah tangga seperti timbangan berat badan, termometer, cotton bud, atau pengukur tinggi badan, tidak masuk dalam jaminan BPJS.

Ke empat, terapi alternatif yang belum dinyatakan efektif sesuai hasil Health Technology Assesment (HTA). Tentang Pengobatan Tradisional, belum lama terbit Peraturan Pemerintah no 34/2014. Saya belum banyak belajar soal PP tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah terapi atau penatalaksanaan yang masih dalam taraf eksperimen (karena belum terbukti efektivitasnya).

Ke lima, ini yang cukup bisa mengundang diskusi mendalam: kejadian tidak diharapkan yang dapat dicegah (preventable adverse events). Definisinya adalah: cedera yang berhubungan dengan kesalahan/kelalaian penatalaksanan medis termasuk kesalahan terapi dan diagnosis, ketidak layakan alat dan lain-lain kecuali komlikasi penyakit terkait. Mau tidak mau, pembahasan ini akan membawa ke diskusi tentang Standar Pelayanan Kedokteran (Permenkes 1438/2010) dan Keselamatan Pasien (Permenkes 1691/2011). Diskusi ini bisa sangat tajam karena perbedaan pandangan. Barangkali karena inilah, pasal 26 Permenkes 71/2013 memberi ruang bahwa ada “sengketa indikasi medis”. Untuk menengahinya, dibentuk Dewan Pertimbangan Klinis. Ada juga pasal lain yang bertugas memberikan Pertimbangan Klinis (Clinical Advisory) agar pelayanan pada pasien menjadi efektif (pasal 35).

Ke enam, ini juga menarik: gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri. Kalau akibat penggunaan NAPZA, barangkali kita lebih mudah sepakat. Bagaimana dengan merokok? Mangga, saya tidak ingin terjebak dalam perdebatan panjang. Tapi saya mendengar, pihak BPJS sendiri memilih posisi memasukkan penyakit akibat merokok sebagai klausul “yang tidak dijamin”.

Dengan menahami prinsip-prinsip tersebut, semoga tidak perlu lagi ada pertanyaan “ini di-cover BPJS nggak ya”.

Mari!

Dibaca sebanyak: 1,016 kali

5.00 avg. rating (100% score) - 1 vote
Butuh Bantuan? Chat Aja!