(Dimuat di Kolom Opini Suara Pembaruan, 16 Januari 2014)

Pelaksanaan JKN dengan penyelenggara BPJS Kesehatan telah memasuki pekan ke tiga sejak 1 Januari 2014. Suara-suara tentang “kok begini kok begitu” bermunculan. Baik pasien maupun pemberi pelayanan menjadi merasa sangat dibatasi. Sebaliknya, dokter diberitakan mendapat penghasilan tinggi  Bahkan akan mendapat insentif. Kondisi ini menimbulkan saling curiga dan ketegangan di lapangan.

Sejatinya, JKN adalah program bagus, program mulia. Menempatkan segitiga antara pengguna layanan kesehatan, pemberi layanan dan pengelola pembiayaan. Ketiganya setara, berbagi hak dan kewajiban, saling checks-and-balances. Pemerintah menjadi “wasit” dan pengayomnya. Muara JKN adalah memberikan perlindungan semesta (universal coverage). Tujuannya semua rakyat mendapatkan jaminan layanan kesehatan yang sama, apapun latar belakangnya. PNS, anggota TNI, penerima upah, maupun bukan penerima upah dan yang mendapatkan PBI, semua mendapat layanan yang sama.

Kita bayangkan sebuah kubus besar (gambar 1). Dari salah satu sudut pada dasar kubus, kita tarik 3 garis. Masing-masing 1 garis menyusur sisi mendatar, dan 1 garis menyusur sisi tegaknya. Kemudian ketiga garis itu saling dihubungkan sedemikian sehingga terbentuk sebuah kubus baru yang lebih kecil di dalam kubus yang pertama.

Garis pertama menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang dicakup dalam pertanggungan. Garis kedua menunjukkan cakupan layanan atau manfaat yang ditanggung. Garis ketiga menunjukkan besarnya proporsi biaya yang ditanggung dan yang masih harus dibayar langsung oleh pengguna atau pasien.

Banyaknya dana yang terkumpul dari premi itu seperti kubus kecil. Targetnya menyamai ukuran kubus besar (perlindungan semesta). Menambah jumlah penduduk yang ditanggung, berarti 2 garis yang lain terpaksa berkurang panjangnya. Bentuk kubus menjadi lonjong. Begitu juga sebaliknya. Tarik ulur ini harus dicari titik optimalnya. Bila sulit karena ukuran kubus terlalu kecil, padahal pemerintah berkewajiban menjamin kesehatan rakyat, pilihannya adalah menambah “ukuran kubus kecil” melalui anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN.

Sejak awal, bahkan oleh Presiden, seringkali dinyatakan bahwa “semua pelayanan kesehatan akan gratis, semua orang tidak boleh ditolak di RS”. Artinya, garis cakupan penduduk dimaksimalkan, garis cakupan pelayanan dimaksimalkan, sementara garis proporsi pembiayaan sendiri dihilangkan sepenuhnya (gratis). Padahal sejak awal pula kita tahu terjadi tarik ulur soal besaran premi. Jelas ada yang tidak sinkron. Kubus kecil itu menjadi tidak karuan bentuknya.

Akibatnya muncul keluhan yang bersumber pada “berkurangnya” layanan. Ada yang berkilah bahwa sebenarnya plafon di era JKN dengan BPJS ini sudah lebih tinggi daripada Askes. Kalaupun ini benar, masalahnya garis cakupan penduduk yang ditanggung juga bertambah. Padahal ada beda besaran premi yang dibayarkan peserta Askes dengan PBI maupun non-PBI. Tentu mudah dipahami bahwa terjadi pergeseran “bentuk kubus” tadi.

Kembali bahwa sebenarnya JKN adalah program bagus. Pola rujukan yang ketat, memang seharusnya demikian. Dokter Layanan Primer sebagai PPK 1, dituntut sangat profesional dengan memenuhi kompetensi pada 144 diagnosis yang harus paripurna ditanganinya. Para dokter di tingkat lanjut (PPK 2 dan PPK 3) juga dituntut profesional untuk menangani kasus sesuai tingkatan spesialisasinya. Langkah ini juga berusaha menggeser keseimbangan pola pembiayaan kesehatan. Selama ini, 80% biaya diserap pada tingkat layanan sekunder dan tersier (RS dan RS Rujukan). Hanya 20% di tingkat primer. Diharapkan ke depan menjadi seimbang pada kurang lebih sama.

Masalahnya kembali pada kubus kecil yang ditarik-tarik ke segala arah tadi. Selama 2 pekan pertama ini yang terjadi adalah “meraba-raba dalam ketidak pastian”. Pegangan pasti memang belum cukup rinci, baru regulasi umum. Bahkan di beberapa tempat, daftar pasien dalam tanggungan saja belum jelas. “Kekesalan” pasien di hari-hari awal tertuju pada RS dan dokter. Padahal posisi mereka juga sama-sama masih bingung.

Acuan JKN sebenarnya adalah kendali mutu dan kendali biaya. Sebelum UU SJSN no 40/2004, sebenarnya UU Praktik Kedokteran no 29/2004 sudah menegaskan prinsip itu sebagai kewajiban dalam penyelenggaraan praktik kedokteran (Paragraf 5 pasal 49).

Pasal 51 huruf  (a) menegaskan bahwa dokter atau dokter gigi berkewajiban “memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”. Bila tidak dipenuhi, ada ancaman pidananya, sesuai pasal 79 huruf (c). Hemat saya, kendali mutu adalah “pelayanan sesuai dengan standar”, kendali biaya adalah “pembiayaan sesuai kebutuhan”.

Pasal 51 tersebut, diturunkan pada Peraturan Menteri Kesehatan no 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Standar ini dibuat dengan tujuan “memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien” (pasal 2). Selanjutnya, pasal 3, standar itu disusun dalam bentuk Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Penyusunnya adalah organisasi profesi yang kemudian disahkan oleh Menteri.

Selanjutnya, PNPK tersebut menjadi acuan bagi pimpinan fasilitas kesehatan untuk menyusun Standar Prosedur Operasional (pasal 10). Tentu saja, dalam hal ini melibatkan Komite Medik yang mengkoordinasikan para pakar di masing-masing bidang spesialisasi. SPO ini yang menjadi pegangan dokter menjalankan praktik kedokteran di fasilitas kesehatan tersebut.

Dalam 2 pekan ini, banyak dokter merasa bahwa akibat tarik-menarik kubus kecil tadi, berisiko mutu pelayanan terpaksa menurun. Padahal jelas itu berisiko sekali bagi pasien, maupun bagi pemberi pelayanan. Instrumen pengendali mutu, mau tidak mau, seharusnya adalah standar pelayanan kedokteran. Sekaligus standar ini juga mengendalikan biaya agar sesuai kebutuhan medis pasien, bukan sekedar “keinginan” dokter maupun pasien.

Sayangnya, dalam JKN ini, terkesan sekali bahwa instrumen pengendali itu adalah “plafon tarif”. Akhirnya, bagi rumah sakit tentu mengharapkan dokter mau tidak mau “menyesuaikan” plafon. Kesan ini terasa kuat, karena yang ditonjolkan adalah soal tarif, bukan standar pelayanan. Bila ini dibiarkan, minimal ada 2 kemungkinan buruk. Pertama, pelayanan sub standar yang berisiko buruk bagi pasien dan kecenderungan dilakukannya praktik up-coding (“mengakali” sistem agar mendapat klaim tinggi). Pada kedua-duanya, risiko hukum yang harus dihadapi oleh para dokter dan rumah sakit. Kiranya kita sepakat, hal ini harus dihindari, lebih penting daripada soal peningkatan insentif dokter.

Apakah memang insentif bagi dokter itu tidak penting? Itu penting, itu perlu. Tetapi bentuknya bukan uang langsung. JKN mensyaratkan PPK 1 adalah Dokter Layanan Primer. Padahal produk dokter umum yang ada saat ini, belum dalam kapasitas tersebut. Kurikulum Pendidikan Dokter yang menyiapkan ke sana, baru mulai menghasilkan lulusan beberapa tahun ke depan. Insentif pemerintah, salah satunya, sebaiknya dalam bentuk biaya pendidikan menuju Dokter Layanan Primer.

Kewajiban dokter lain pada pasal 51 UU Praktik Kedokteran no 29/2004 adalah “menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran”. Kalau tidak dipenuhi, para dokter tidak bisa memperpanjang sertifikat kompetensinya, sehingga tidak bisa lagi melayani masyarakat. Pemerintah seharusnya juga memberikan insentif dalam bentuk kemudahan dokter memenuhi kewajiban tersebut. Cara ini, banyak nilai positifnya. Termasuk juga positif untuk keberhasilan implementasi program JKN.

Mari kita dukung bersama program JKN ini dengan bersikap kritis agar lebih baik dalam implementasinya. Semata-mata, semua itu, demi kemaslahatan bersama, seluruh rakyat Indonesia, termasuk pemberi layanan kesehatan di dalamnya.

Dibaca sebanyak: 612 kali

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Butuh Bantuan? Chat Aja!