Agar KIS tidak melanggar UU
Ditulis untuk menanggapi berita: Wakil Ketua DPR: pakai BPJS supaya legal.
Regulasi terkait JKN, diawali oleh UU SJSN 40/2004. Disusul kemudian UU 24/2011 ttg BPJS. Disusul lagi PP 101/2012 ttg Penentuan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Disusul lagi Perpres 12/2013 yang diperbaiki dengan Perpres 111/2013 ttg Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di bawahnya ada rincian aturan pelaksanaan seperti Permenkes 71/2013, 69/2013, 27/2014, 28/2014, 59/2014. Dilengkapi pula dengan aturan tentang Formularium Nasional KMK 328/2013 yang telah diperbaiki dengan KMK 159/2014.
Sebagian aturan yang bersifat konsep dasar, sudah muncul sebelum pelaksanaan JKN 2014. Tetapi aturan yang bersifat petunjuk pelaksanaan, baru muncul beberapa hari menjelang 1 Januari 2014. Bahkan kemudian secara simultan, sambil berjalan, keluar aturan-aturan yang lebih rinci. Karena keluar secara simultan, maka tentu ada risiko tumpang tindih dengan yang sudah terlanjur berjalan. Perlahan, bentuknya mulai kelihatan. Prosesnya mulai berjalan. Sekarang fokusnya mulai beralih ke kekhawatiran terjadinya fraud, terutama justru yang terjadi karena ketidak tahuan.
Terkait KIS dan berita di bawah ini, Program JKN sudah jelas diatur eksplisit di UU SJSN 40/2004. BPJS sebagai Badan Penyelenggara sudah jelas diatur eksplisit pada UU 24/2011. Penerima Bantuan Iuran (PBI) sudah jelas diatur dalam UU 40/2004 yang diterjemahkan dalam PP 101/2012. Sesuai regulasi, memang harus dilakukan perbaruan data PBI setiap 6 bulan, kemudian diajukan anggarannya ke APBN. Dalam hal inilah ada ikatan Undang-Undang karena APBN adalah UU. Barangkali ini yang dimaksud dalam berita tersebut.
Awal 2014, sesuai data TNP2K, ada 96,7 rakyat yang masuk kategori miskin. Dari jumlah itu, baru 86,4 hpw juta yang ditanggung pemerintah. Selebihnya masih diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Secara bertahap, pada 2016, semua Program semacam Jamkesda, harus sudah dipindah ke JKN. Mengapa ada keengganan dari sebagian Pemda mengalihkan ke JKN, sudah saya bahas pada salah satu status lainnya.
Istilah “Kartu” bagi peserta JKN-BPJS sebenarnya hanya muncul pada Permenkes 71/2013 dan Peraturan BPJS no 1/2014. Dalam aturan itu pun tidak ada ketetapan eksplisit harus bernama “Kartu BPJS”. Artinya, lebih luwes bila ada penyesuaian atau perubahan tanpa harus merubah UU atau PP.
Untuk itu, usul saya: Sistem tetap JKN, Penyelenggara tetap BPJS, PBI tetap seuai UU 40/2004 dan PP 101/2014, Anggaran tetap menggunakan Anggaran untuk premi ke BPJS. Yang kita “ubah” hanya nama Kartunya saja menjadi “Kartu Indonesia Sehat”. Yang lebih penting, perluasan manfaat dan cakupannya.
Dengan demikian, hemat saya, tidak perlu ada perdebatan tentang melanggar UU. Keinginan Pemerintah tetap berjalan, janji kampanye tetap dapat diwujudkan, dan masyarakat tetap mendapatkan manfaat. Perkara “dulu janjinya beda dengan BPJS”, sudahlah, itu kan masa kampanye.
Mari bergerak maju.
Salam Indonesia Sehat!
Catatan: usulan saya secara lebih rinci terkait hal ini, sudah pernah dibahas pada Juni 2014 silam, simultan dengan Debat Capres yang mengusung KIS. Status-status terkait sudah saya tautkan ulang agar tidak perlu lagi yang lewat inbox menyebut bahwa komentar saya tentang KIS itu sekedar “omongan orang bangun tidur”. Mangga silakan dikoreksi, agar saya juga bisa mengukur diri apakah cukup konsisten dan tetap menuju manfaat bagi masyarakat, bukan diri saya sendiri.
Nuwun.