Diskusi dengan tema remunerasi ataupun model pembagian jasa pelayanan di rumah sakit, tidak mungkin dapat dilepaskan dari pembahasan tentang tarif rumah sakit. Lho… bukankah sekarang sudah eranya tarif paket (Pocket Payment System) yang digunakan oleh BPJS Kesehatan dalam membayar klaim dengan model tarif INA CBGs yang ditetapkan oleh NCC Kemenkes RI ? Benar sekali, namun jangan lupa bahwasanya tarif rumah sakit masih sangat diperlukan untuk setidaknya 4 (empat) hal berikut, yaitu :

  1. Penghitungan jasa pelayanan dengan metode konversi dan proporsi menggunakan tarif rumah sakit sebagai basis perhitungan Relative Value Unit (RVU) atau prosentase kontribusi atau bobot tiap-tiap jenis layanan.
  2. Terkait adanya peluang pasien BPJS Kesehatan yang menginginkan kelas lebih tinggi dari hak kelas rawat nya, maka perhitungan selisih pembayaran tentu saja masih memerlukan tarif pelayanan rumah sakit.
  3. Adanya peluang koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (COB) antara BPJS Kesehatan dengan penjamin asuransi lainnya, baik sebagai first payer maupun sebagai second payer tetap memerlukan tarif pelayanan rumah sakit yang digunakan sebagai dasar “negosiasi” untuk mencapai tarif kesepakatan antara RS dengan penjamin diluar BPJS Kesehatan, contohnya : Mandiri Inhealth dan lain sebagainya.
  4. Meskipun jumlahnya terus menurun, namun kunjungan pasien umum ataupun pasien dengan penjamin non managed care masih ada di RS, yang tentu saja masih memerlukan perhitungan dengan tarif pelayanan rumah sakit.

Jadi, menyusun tarif pelayanan rumah sakit hukumnya tetap WAJIB atau HARUS.

Berbicara tentang tarif rumah sakit sesungguhnya bukan sekedar besaran atau nominal tarif tersebut, namun hal lain yang juga sangat penting adalah STRUKTUR TARIF. Sebuah RS yang memiliki tarif pelayanan rumah sakit harus memperhatikan struktur tarif nya juga, sudahkah sesuai dengan Pola Tarif Nasional Rumah Sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah ?

TERBITNYA PMK NOMOR 85 TAHUN 2015

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 49 Ayat (1) mengamanatkan bahwa “menteri menetapkan pola tarif nasional”. Menteri yang dimaksud tentu saja adalah Menteri Kesehatan. Pada ayat (3) juga mengamanatkan Gubernur untuk menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan pola tarif nasional yang ditetapkan oleh menteri. Dan batas atas (PAGU) tari maksimal yang ditetapkan oleh gubernur ini HARUS menjadi acuan besaran tarif rumah sakit yang berada di propinsi terkait.

Sehingga terbitlah PMK Nomor 85 Tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit (7 Tahun sejak UU RS ditetapkan) yang mungkin terkesan cukup lama rentang waktu untuk terbitnya sebuah aturan turunan. Sebelum terbitnya PMK Nomor 85 Tahun 2015 ini, sesungguhnya Menkes juga sudah menerbitkan PMK Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pola Tarif Rumah Sakit BLU Di Lingkungan Kementerian Kesehatan, yang artinya aturan tersebut hanya mengikat untuk rumah sakit vertikal milik pemerintah pusat (Kemenkes) seperti RSCM Jakarta, RSHS Bandung, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan lain sebagainya.

Sesuai amanat UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, seharusnya dengan terbitnya PMK Nomor 85 Tahun 2015 ini harus diikuti dengan terbitnya Pergub tentang PAGU Maksimal besaran tarif rumah sakit yang ada di propinsi terkait. Namun, dapat kita lihat dan cari informasinya sampai dengan saat ini saya masih belum bisa menemukan Propinsi yang sudah menerbitkan Pergub tersebut (Mohon informasi bagi yang sudah mendapatkan data tentang Pergub ini di sebuah propinsi). Yang ada hanyalah Pergub tentang pola tarif rumah sakit tertentu (biasanya rumah sakit milik Pemerintah Propinsi). Sehingga rumah sakit daerah yang ada di propinsi, kabupaten atau kota memang belum memiliki acuan besaran tarif maksimal untuk pelayanan rumah sakit. Lantas bagaimana ? PMK Nomor 85 Tahun 2015 telah mengantisipasinya pada Pasal 6 Ayat (6) yang menyebutkan bahwa dalam hal Gubernur BELUM menetapkan Pergub tentang PAGU maksimal besaran tarif rumah sakit, maka penetapan tarif rumah sakit mengacu pada Pola Tarif Nasional yang ditetapkan oleh Menkes melalui PMK 85 Tahun 2015 tersebut.

TARIF BIAYA SATUAN VS TARIF PAKET

Baik dalam UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 maupun dalam PMK 85 Tahun 2015 keduanya mengatur bahwasanya tarif rumah sakit ditetapkan berdasarkan BIAYA SATUAN pembiayaan atau sering kita sebut dengan UNIT COST (UC) dengan memperhatikan kondisi regional. Lebih lanjut diatur bahwa penetapan biaya satuan tersebut harus memperhatikan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan serta kompetisi yang sehat.

Biaya satuan adalah hasil perhitungan total biaya dibagi dengan jumlah layanan dalam satu satuan waktu tertentu (biasanya dalam 1 tahun). Sehingga sangat jelas dan tegas bahwa penyusunan tarif rumah sakit tetap menggunakan perhitungan biaya satuan pembiayaan per jenis layanan. Prinsip biaya satuan adalah menghitung setiap biaya (cost) yang dikeluarkan untuk SETIAP jenis layanan, sehingga tarif rumah sakit adalah tarif yang berbasis Fee For Services.

Pembiayan model paket (Pocket Payment System) di Indonesia pertama kali di kembangkan pada Tahun 2005 dan mulai di implementasikan pada Tahun 2008 ketika Program JAMKESMAS hadir menggantikan Program ASKESKIN / JPKMM (2005-2007) yang masih menggunakan metode pembayaran tarif PER DIAGNOSA. Program JAMKESMAS pertama kali menggunakan model tarif paket pelayanan yang disebut INA DRG (Indonesia Diagnostic Related-Gorup) yaitu model paket tarif layanan yang menggabungkan/mengelompokkan biaya untuk diagnosa-diagnosa yang mirip atau sejenis. Selanjutnya pada Tahun 2010, Program JAMKESMAS merubah metode pembayaran paket dari INA DRG menjadi INA CBGs (Indonesia Case-Base Groups) yaitu model paket tarif pelayanan yang menggaungkan/mengelompokkan tarif layanan kasus-kasus yang mirip atau sejenis dan menyerap sumber daya yang sama. Model tarif paket INA CBGs ini kemudian diteruskan pada Tahun 2014 melalui Program JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan sampai dengan hari ini dengan telah mengalami beberapa kali perubahan / perbaikan dan perkembangan.

Persoalan tentu timbul ketika tarif pelayanan rumah sakit yang berbasiskan biaya satuan dihadapkan dengan tarif paket INA CBGs yang berbasiskan paket dan BUKAN satuan pelayanan. Masalahnya adalah, dari aspek perhitungan pembiayaan rumah sakit menggunakan perhitungan per satuan jenis layanan, sedangkan saat menerima pembayaran klaim dari BPJS adalah secara paket. Deviasi ini berdampak pada perhitungan alokasi rumah sakit untuk pembiayaan sarana (termasuk obat dan BHP) dan alokasi untuk jasa pelayanan. Sehingga rumah sakit harus pandai dan cermat dalam melakukan analisa dan perhitungan alokasi saat “memecah” tarif paket tersebut menjadi tarif “eceran” atau tarif satuan. Kegiatan inilah yang disebut “SPLIT PRICE” atau memecah-mecah paket tarif menjadi tarif satuan. Fungsinya adalah untuk menentukan berapa alokasi biaya sarana, alokasi obat dan BHP serta alokasi untuk jasa pelayanan.

STRUKTUR TARIF

Sepeti yang telah disebut diawal tulisan, bahwa menentukan atau menetapkan tarif bukanlah semata ketepatan perhitungan biaya satuan atau Unit Cost, namun juga struktur tarif yang benar dan sesuai kaidah serta ketentuan juga harus diperhatikan dengan serius. Menjadi hal yang sia-sia ketika perhitungan biaya satuan sudah tepat, namun struktur tarif nya tidak tepat. Dampaknya akan menimbulkan kesulitan saat melakukan pemecahan tarif paket menjadi tari per unit satuan. Struktur tarif harus konsisten dan mengikuti suatu POLA. Nah pola tarif inilah yang diatur dalam PMK Nomor 85 Tahun 2015 tersebut.

Secara garis besar, pola tarif yang diatur dalam PMK tersebut membagi kegiatan yang dapat dikenakan tarif rumah sakit menjadi 2, yaitu : 1) Kegiatan Pelayanan; dan 2) Kegiatan Non Pelayanan. Kegiatan Pelayanan adalah kegiatan yang menjadi core business nya rumah sakit, yaitu pelayanan kepada pasien. Sedangkan kegiatan Non Pelayanan adalah kegiatan tambahan sebagai sumber pendapatan rumah sakit yang sah seperti kegiatan pendidikan dan pelatihan, kegiatan penelitian, sewa lahan, sewa ruang, sewa alat, lahan parkir RS, kantin, hostel dan Kerja Sama Operasional (KSO).

Kegiatan Pelayanan yang dimaksud, dibedakan berdasarkan TEMPAT PELAYANAN dan JENIS PELAYANAN. Kegiatan pelayanan berdasarkan tempat pelayanan dibedakan menjadi Rawat Jalan, Rawat Inap dan Rawat Darurat. Sedangkan kegiatan pelayanan berdasarkan Jenis Pelayanan dibedakan menjadi PELAYANAN MEDIS dan PELAYANAN PENUNJANG MEDIS.

Kegiatan Pelayanan Medis yang dikaitan dengan tempat pelayanan dibagi menjadi :

  1. Pemeriksaan dan Pelayanan Konsultasi yang dilakukan di Rawat Jalan dan Rawat Darurat.
    2. Visite dan Pelayanan Konsultasi yang dilakukan di Rawat Inap.
    3. Tindakan Operatif yang dilakukan di Kamar Operasi Untuk Pasien Rawat Jalan, Rawat Inap dan Rawat Darurat.
    4. Tindakan Non Operatif yaitu Tindakan Tanpa Pembedahan Untuk Pasien Rawat Jalan, Rawat Inap dan Rawat Darurat.
    5. Persalinan yaitu Tindakan Di Kamar Bersalin untuk Pasien Rawat Inap.

Sementara Tindakan Operatif atau Tindakan Medis Operatif (TMO) dibagi menjadi TMO Kecil, Sedang, Besar dan Khusus. Begitupun untuk Tindakan Non Operatif atau Tindakan Medis Non Operatif (TMNO) dibagi menjadi TMNO Kecil, Sedang, Besar dan Khusus. Untuk tindakan persalinan di ruang bersalin dibedakan menjadi Tindakan Persalinan Normal, Persalinan Dengan Tindakan Pervaginam dan Pelayanan Bayi Baru Lahir.

Tindakan Penunjang dibedakan menjadi :

  1. Pelayanan Laboratorium
    2. Pelayanan Radiodianostik
    3. Pelayanan Diagnostik Elektromedis
    4. Pelayanan Diagnostik Khusus
    5. Pelayanan Rehabilitasi Medis
    6. Pelayanan Darah
    7. Pelayanan Farmasi
    8. Pelayanan Gizi
    9. Pelayanan Pemulasaraan Jenazah dan pelayanan penunjang lainnya.

Lebih lanjut diatur bahwa Pelayanan Laboratorium terbagi menjadi Pemeriksaan Patologi Klinik, Patologi Anatomi dan Mikrobiologi. Pelayanan Rehabilitasi Medis dibedakan menjadi Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Psikososial dan Pelayanan Ortotik/Prostetik. Sementara Pelayanan Farmasi dibedakan menjadi Farmasi Klinik (Konsultasi Farmasi) dan Farmasi Non Klinik (yang dimaksudkan sangat mungkin Pelayanan Farmasi Produk, yaitu penyedian dan pendistibusian Obat dan BHP). Selanjutnya pelayanan pemulasaraan jenazah terbagi menjadi Perawatan dan Penyimpanan Jenazah, Konservasi Jenazah, Bedah Mayat dan Pelayanan Lainnya.

Jika menilik dari PMK ini, maka semestinya tidak lagi menimbulkan kebingungan, kerancuan dan tumpang tindih tentang pengelompokan tarif pelayanan di rumah sakit. Terdapat 2 kata kunci utama tentang tarif pelayanan, yaitu TEMPAT pelayanan dan JENIS pelayanan. Tempat Pelayanan yang terdiri dari Instalasi Rawat Inap (IRNA), Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) mencerminkan tempat ASAL pasien, sehingga bisa disebut sebagai INSTALASI INDUK. Yang dimaksud Instalasi Induk adalah tempat pasien yang dilakukan tindakan berasal, apakah pasien Rawat Inap, pasien Rawat Jalan atau pasien IGD. Untuk rumah sakit yang sudah memiliki Sistem Informasi Rumah Sakit (SIMRS) dapat dilihat dari lokasi terdaftarnya (registrasi) pasien yang menunjukkan tempat asal pasien atau Instalasi Induk nya. Jadi kesimpulannya hanya ada 3 Instalasi Induk di rumah sakit, yaitu Instalasi Rawat Inap (IRNA), Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Nah tentang pelayanan apa saja yang dapat diberikan atau dilakukan terhadap pasien pada ketiga Instalasi Induk tersebut mengacu pada kata kunci JENIS pelayanan.

Pasal 10 Ayat (2) PMK Nomor 85 Tahun 2015 telah menegaskan bahwa Jenis Pelayanan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri dari PELAYANAN MEDIS dan PELAYANAN PENUNJANG MEDIS. Kegiatan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis ini terkait dengan PELAKSANAAN pelayanan tersebut sehingga disebut dengan INSTALASI PELAKSANA. Sehingga sampai pada titik ini kita mengenal istilah Instalasi Induk dan Instalasi Pelaksana. Jika Instalasi Induk mengacu pada asal atau lokasi pasien berada (tempat terdaftar / registrasi), maka Instalasi Pelaksana mengacu pada lokasi tempat pelaksanaan pelayanan yang bisa berbeda dengan lokasi asal pasien. Contoh, pasien rawat inap yang dilakukan tindakan operasi usus buntu di Instalasi Bedah Sentral (OK) maka Instalasi Induk nya adalah Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Pelaksana nya adalah Instalasi Bedah Sentral (OK). Contoh lain pasien rawat jalan yang dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka Instalasi Induk nya Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi Pelaksana nya adalah Instalasi Laboratorium. Namun ada juga yang lokasi asal dan lokasi pelaksanaan pelayanan berada pada instalasi yang sama, contoh pasien di instalasi gawat darurat yang dilakukan tindakan penjahitan luka robek. Maka Instalasi Induk nya adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Instalasi Pelaksana nya juga sama yaitu Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Jika instalasi induk yang dikaitkan dengan tempat asal pasien di rumah sakit sudah ditegaskan secara explisit pada PMK yaitu Instalasi Rawat Inap (IRNA), Instalasi Rawat Jalan (IRJ) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD); maka untuk instalasi pelaksana yang dikaitkan dengan jenis pelayanan bisa berbeda untuk tiap rumah sakit tergantung kemampuan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Namun minimal terdapat 2 jenis pelayanan yang harus mampu dilaksanakan yaitu Pelayanan Medik dan Pelayanan Penunjang Medik. Jika melihat dari uraian Jenis Pelayanan pada PMK ini, maka setidaknya terdapat :

  1. Instalasi tempat pelaksanaan Pelayanan Medis :
    a. Instalasi Rawat Inap (IRNA)
    b. Instalasi Rawat Jalan (IRJ)
    c. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
    d. Instalasi Bedah Sentral (OK)
    e. Instalasi Kamar Bersalin (VK); dan
    f. Instalasi Pelayanan Medis lain (tergantung kemampuan rumah sakit).
  2. Instalasi tempat pelaksaan Pelayanan Penunjang Medis :
    a. Instalasi Laboratorium
    b. Instalasi Radiologi
    c. Instalasi Rehabilitasi Medis
    d. Instalasi Bank Darah
    e. Instalasi Kamar Jenazah
    f. Instalasi Gizi
    g. Instalasi Farmasi; dan
    h. Instalasi Penunjang Lain (tergantung kemampuan rumah sakit).

Sehingga jelas terlihat pemetaan mana instalasi yang hanya berfungsi sebagai Instalasi Pelakasana saja dan mana instalasi yang berperan sebagai Instalasi Pelaksana merangkap sebagai Instalasi Induk. Dengan pemetaan seperti diatas, maka seharusnya tidak menimbulkan kebingungan dan tumpang tindih lagi dalam memahami struktur tarif pelayanan di rumah sakit.

HUBUNGAN PELAYANAN DAN INSTALASI

Dengan memadukan antara JENIS pelayanan dan TEMPAT pelayanan serta menyusun Instalasi Induk dan Instalasi Pelaksana, maka dapat disusunlah jenis-jenis pelayanan yang mampu diberikan oleh rumah sakit. Jenis pelayanan yang sudah tersusun, ada yang harus diuraikan lebih lanjut dan ada pula yang tidak perlu diuraikan. Sebagai contoh, jenis pelayanan Tindakan Medis Operasi (TMO) Besar, maka harus diuraikan lagi nama-nama tindakan operasi yang masuk dalam kriteria TMO Besar tersebut. Ikatan Dokter Indonesia sudah memberikan panduan jenis-jenis pelayanan atau tindakan yaitu Acuan Tarif Jasa Medik Dokter yang diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tahun 2013. Memang dalam acuan ini tidak dipisahkan pelayanan atau tindakan berdasarkan kriteria, namun bisa dicari sumber-sumber referensi nya dari masing-masing kolegium atau berdasarkan kebijakan rumah sakit dengan mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal.

Contoh lain untuk Pelayanan Penunjang Medik, adalah Pemeriksaan Laboratorium yang harus diuraikan lagi menjadi nama-nama pemeriksaan yang mampu dikerjakan oleh laboratorium rumah sakit tersebut. Ini bisa berbeda antar satu rumah sakit dengan yang lain, tergantung kemampuan, ketersedian sarana prasarana, fasilitas dan kemampuan sumber daya manusia. Perbedaan antara detail uraian tindakan laboratorium dengan Tindakan Medis Operasi (TMO) adalah jika tindakan di Laboratorium besaran tarif nya bisa berbeda atau sama, namun Tindakan Medis Operasi (TMO) di ruang OK pada kelompok atau kriteria yang sama maka HARUS SAMA karena dalam PMK Nomor 85 Tahun 2015 hanya membagi TMO menjadi Kecil, Sedang, Besar dan Khusus. Begitu juga dengan Tindakan Medis Non Operasi (TMNO).

Langkah selanjutnya adalah untuk memudahkan secara sistem terutama kepentingan dalam Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS), maka masing-masing item jenis pelayanan diberikan kode yang spesifik dan berfungsi sebagai primary key dalam databased. Contoh peng-kodea an yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut : T – 01 – 04 – 20.

Huruf T melambangkan inisial dari TARIF, dua angka pertama menunjukkan kode Instalasi Induk, dua angka kedua menunjukkan kode Instalasi Pelaksana dan dua angka terakhir menunjukkan nomer urut jenis pelayanan pada Instalasi Induk terkait.

T : Inisial dari TARIF

01 : Kode Instalasi INDUK

04 : Kode Instalasi PELAKSANA

20 : Nomer urut jenis pelayanan pada Instalasi Induk Terkait.

Pada tahap awal kita harus melakukan pemberian kode pada semua instalasi, baik Instalasi Induk maupun Instalasi Pelaksana. Contoh adalah seperti terlihat pada tabelpada gambar.

Beberapa catatan penting terkait struktur tarif pada PMK 85 Tahun 2015 ini adalah :

  1. Tidak dikenal lagi istilah CITO dan ELEKTIF pada tindakan operatif atau TMO.
    2. Tidak ada nomenklatur Tindakan Keperawatan atau Tindakan Perawat (beberapa rekan perawat langsung protes dengan ketentuan ini).
    3. Pelayanan ambulance dan mobil jenazah yang seharusnya termasuk dalam kegiatan pelayanan tidak tercantum secara eksplisit sebagai bagian dari tindakan penunjang. Ada kemungkinan dimasukkan dalam kategori pelayanan penunjang lainnya.
    4. Pengelompokan Tindakan Operatif dan Tindakan Non Operatif menjadi kelompok Kecil, Sedang, Besar dan Khusus sangat mungkin dimaksudkan bahwa tindakan yang berada pada satu kelompok yang sama maka besaran tarifnya adalah sama.

PENUTUP

Sebagai penutup, saya akan sampaikan bahwa pada PMK Nomor 85 Tahun 2015 Pasal 20 Ayat (2) ditegaskan bahwa besaran Jasa Pelayanan untuk tindakan pelayanan yang sama HARUS diperhitungkan SAMA untuk semua kelas pelayanan. Artinya adalah Jasa Pelayanan harus sama untuk semua kelas perawatan pada jenis pelayanan yang sama. Hal ini mungkin sangat berbeda dengan kebanyakan kita menyusun tarif rumah sakit pada saat ini. Dimana seolah-olah Jasa Pelayanan LEBIH TINGGI untuk kelas VIP dan paling rendah pada Kelas III meskipun jenis pelayanannya sama. Misalkan visite dokter pasien di ruang VIP dihitung Jasa Pelayanannya sebesar Rp 50.000,- sekali visite, sementara visiste dokter pasien di Kelas III hanya dihitung sebesar Rp 15.000,- setiap kali visite. Hal ini memang sangat bertolak belakang dengan Acuan Tarif Jasa Medik Dokter yang diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tahun 2013 sehingga berpotensi menimbulkan protes dan keberatan dikalangan para dokter.

Kedua, ketiadaan Tindakan Keperawatan atau Tindakan Perawat terkesan kurang sinkron karena pada Pasal 15 Ayat (4) disebutkan bahwa Jasa Pelayanan terdiri atas Jasa Tenaga Kesehatan dan Jasa Tenaga Lainnya. Sangat jelas bahwasanya perawat merupakan tenaga kesehatan dalam kelompok paramedis.

Terkait dengan hal ini, saya memiliki saran untuk pemecahan masalahnya. Yaitu dengan memasukkan nomenklatur Asuhan Keperawatan ke dalam komponen Akomodasi. Jadi dalam komponen akomodasi terdiri dari pemakaian akomodasi ruangan, bahan non medis, bahan habis pakai yang digunakan langsung dan ditambah dengan asuhan keperawatan. Akomodasi ruangan yang dimaksud adalah sewa kamar/ruangan dan paket makan pasien. Sehingga tarif kamar rawat inap adalah Paket Akomodasi Kamar Rawat Inap yang terdiri dari Sewa Kamar, Paket Makanan Pasien, Asuhan Keperawatan, Bahan Non Medis dan BHP Langsung.

Asuhan keperawatan sendiri dapat dibedakan menjadi Minimal Care, Partial Care dan Total Care yang dihitung berbeda untuk tiap jenis kelas pelayanan. Memang terkesan tidak konsisten dan tidak sesuai dengan Pola Tarif Nasional Rumah Sakit, namun setidaknya itu menjadi solusi atas hilangnya nomenklatur Tindakan Perawat.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa tindakan pelayanan itu ada yang bersifat Tindakan Delegasi, Tindakan Kolaborasi dan Tindakan Mandiri. Tindakan Medis Non Operatis (TMNO) sebagai contoh adalah tindakan injeksi merupakan Tindakan Delegasi karena sebenarnya adalah tindakan yang harus dilakukan dokter (termasuk dalam tindakan medis yang harus dilakukan oleh tenaga medis yaitu dokter), namun tidak mungkin semua tindakan injeksi dilakukan oleh dokter sehingga diberikanlah kewenangan dalam bentuk delegasi dari dokter kepada perawat. Contoh Tindakan Kolaborasi adalah Tindakan Medis Operatif di Kamar Operasi yang terjadi kolaborasi antara Dokter Operator, Dokter Anesthesi, Perawat Asisten Operator dan Perawat Penata Anesthesi. Masing-masing berperan, berkontribusi dan berkolaborasi pada saat tindakan operasi dilakukan. Contoh Tindakan Mandiri adalah tindakan pemeriksaan dan konsultasi dokter, visite rawat inap dan asuhan keperawatan. Sehingga asuhan keperawatan merupakan tindakan mandiri perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

Demikian sedikit ulasan tentang struktur tarif rumah sakit sesuai dengan PMK Nomor 85 Tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit. Semoga memberikan sedikit gambaran dalam kita menyusun tarif rumah sakit. Intinya adalah mari kita perbaiki struktur tarif rumah sakit kita masing-masing, karena struktur tarif yang benar akan linier dengan remunerasi atau pembagian jasa pelayanan yang benar, ideal dan ber-keadilan. Wallahualam Bishowab.

Sekian.

Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta – Jawa Barat

*** Dikarenakan di FB tidak bisa memuat gambar dalam catatatan, maka silahkan membuka link dibawah ini untuk membaca lebih lengkap dengan gambar-gambar nya.

 

Memperbaiki Struktur Tarif Rumah Sakit Sesuai PMK 85 Tahun 2015 – catatan mashani

Memperbaiki Struktur Tarif Rumah Sakit Sesuai PMK 85 Tahun 2015 10/06/2017 mashani77 Kesehatan 0 Diskusi dengan tema remunerasi ataupun model…

mashani77.net

Dibaca sebanyak: 592 kali

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Butuh Bantuan? Chat Aja!