Pakai BPJS, Kok masih tombok?
Ini pertanyaan yang juga sering muncul dalam pelayanan di era JKN-BPJS Kesehatan. Apakah benar-benar gratis?
Konsep dasar JKN adalah dapat dijaminnya pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar untuk semua orang. Prinsipnya berbasis asuransi sosial (pasal 19 UU SJSN 40/2004). Dengan konsep ini, diharapkan semua orang mendapat pelayanan tanpa harus dibebani pembiayaan mendadak dalam ukuran relatif besar. “Risiko” itu dialihkan dengan pembayaran premi secara rutin setiap bulan (prinsip asuransi). Risiko itu juga “dibagi” bersama-sama secara komunal dalam masyarakat (prinsip sosial atau gotong royong).
Dengan konsep ini, pelayanan kesehatan menjadi “gratis”. Tentu harus dalam tanda kutip karena, pertama, ada pengalihan risiko menjadi premi bulanan. Kedua, ini yang barangkali terlewat dalam “kampanye JKN”, ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Batasannya adalah “kendali mutu dan kendali biaya”. Tentang hal ini, sudah saya uraikan dalam tulisan terdahulu.
Yang selama ini kita dapatkan sosialisasinya “pasien tidak perlu bayar sama sekali”. Sebenarnya, ada batasan mana yang dijamin dan mana yang tidak dijamin. Prinsip mudahnya, yang dijamin adalah pelayanan kesehatan yang bersifat “kebutuhan primer”. Sedangkan yang bersifat sekunder, tidak dijamin. Lebih ringkas lagi, dijamin kalau memang dibutuhkan, tidak jamin kalau itu sekedar keinginan lebih. Contoh yang gampang, operasi untuk mengembalikan fungsi (misalnya gigi tanggal karena kecelakaan) itu dijamin. Tetapi usaha perbaikan gigi karena alasan kosmetik, tidak masuk dalam jaminan.
“Tidak boleh ada iur biaya” juga sering kita dengar. Ini sebenarnya adalah implementasi dari kendali mutu dan kendali biaya. Disebut “tidak boleh ada iur biaya” erat kaitannya dengan moral hazard. Pengguna layanan maupun pemberi layanan, rentan melakukannya dalam bentuk “meminta atau memberi layanan melebihi kebutuhan”. Karena itu, ada batasan tarif untuk setiap diagnosis (Permenkes 69/2013). Harapannya, membatasi pelayanan yang tidak perlu tadi.
Di sisi lain, tetap harus ada standar minimal yang dipenuhi. Untuk mudah dipahami saja, ada Formularium Nasional yang menetapkan obat standar dalam pelayanan kesehatan. Masuk Fornas, adalah salah satu syrat untuk dijamin (artinya tidak perlu bayar tambahan). JKN-BPJS juga memberi ruang bila ada yang belum masuk Fornas, meskipun dikendalikan secara ketat dengan indikasi jelas dan persetujuan Komite Medik (Pasal 24 ayat 2 Permenkes 71/2013).
Lho, kok itu ada pasien yang harus tombok? Ada 2 klausul utama yang memungkinkan pasien harus tombok dalam arti ada “iur biaya”. Pertama, memang pasien menghendaki perawatan di kelas yang lebih tinggi. Pasal 21 Permenkes 71/2013 menyatakan:
(1) Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.
Hal itu juga sesuai dengan Peraturan BPS no 1/2014 pasal 62:
(1) Peserta dapat meningkatkan kelas ruang perawatan lebih tinggi dari yang menjadi haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan berdasarkan tarif INA-CBG’s dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
(2) Peningkatkan kelas ruang perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan.
Hal yang sensitif, yang harus dibayar oleh pasien adalah “selisih antara tarif INA-CBGs dengan biaya yang harus dibayar karena peningkatan kelas perawatan”. Jadi bukan selisih tarif INA-CBGs antar kelas yang termuat dalam Permenkes 69/2013. Perbedaan biaya ketika naik kelas, sangat ditentukan oleh kebijakan di dalam masing-masing RS.
Prinsip kendali menyatakan bahwa “standar tetap harus dipenuhi secara sama di semua kelas perawatan. Mudahnya, apa yang dinyatakan dalam Standar terapi dan sesuai isi Fornas, tetap harus diberikan di kelas perawatan terendah sekalipun. Peningkatan biaya terjadi karena perbedaan manfaat akomodasi atau non medis.
Tapi, kok ada pasien yang mendapatkan “obat beda” sehingga harus tombok ketika naik kelas? Sebenarnya, tidak harus naik kelas pun, bisa terjadi perbedaan dalam hal ini. Standar tetap harus dipatuhi. Tetapi ada ruang untuk perbedaan yang di luar standar, karena ada klausul permintaan pasien.
Klausul lain itu adalah pasien menghendaki yang di luar (“melebihi”) standar. Pasal 22 UU SJSN 40/2004 menyatakan:
(2) Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan:
“Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik. Urun biaya itu harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan”
Dengan demikian, memang bisa saja pasien meminta yang “melebihi” standar (ambil contoh Fornas untuk hal penggunaan obat). Kalau hal seperti ini ditanggung sepenuhnya, maka akan menimbulkan ketidak adilan bagi peserta lain. Itu satu sisi. Sisi lain, terjadi utilitas sumber daya yang tidak rasional. Ini yang dikhawatirkan sebagai moral hazard. Untuk itu dikenakan iur biaya.
Ruang untuk boleh adanya “iur biaya” ini harus disikapi secara hati-hati. Salah satu hak pasien memang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. Di sisi lain, pasien juga berhak memilih dokter dan kelas perawatan (Pasal 32 UU RS 44/2009). Untuk itu, pengenaan iur biaya sebaiknya disepakati bersama pasien dalam bentuk formal. Semata agar menghindari masalah di kemudian hari. Selanjutnya, tetap harus dikaji agar “permintaan” pasien tersebut memang tetap sesuai indikasi medisnya.
Sesuai amanat UU SJSN, seharusnya soal iur biaya ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Presiden. Sayangnya, Perpres 12/2013 maupun 111/2013 tidak mengatur hal tersebut. Demikian juga dalam Permenkes 71/2013. Harapannya tidak menjadi “liar” dan tidak terarah. Karena tidak ada aturan baku, akibatnya di lapangan, terbentuk ruang yang harus hati-hati didekati agar tidak justru mengaburkan tujuan mulia JKN itu sendiri. Alih-alih malah bisa jadi sumber masalah, bahkan bisa jadi masalah hukum. Jangan sampai ruang itu justru menjadi bumerang, termasuk – atau terutama – bagi pemberi layanan itu sendiri.
Kembali, saling kesepahaman, menjadi mutlak dalam hal ini. Mangga.